Selasa, 23 Agustus 2011

Mengajar Kecakapan Bekerjasama Kepada Siswa


Mengajar Kecakapan Bekerjasama Kepada Siswa

http://fitriahimamahligai.files.wordpress.com/2009/07/bekerja_dengan_siswa1.jpgMembantu anak-anak selama mereka belajar kecakapan bekerjasama, melatih kecakapan dan belajar untuk memberi dan menerima umpan balik adalah suatu komitmen yang membutuhkan waktu cukup lama. Banyaknya jam pelajaran selama setahun penuh dapat dihabiskan pada kecakapan yang sederhana dari memulai membentuk kelompok dan belajar bagaimana bekerja secara berkelompok. Kelas lainnya mungkin bergerak cepat ke arah pemecahan masalah yang cukup rumit sebagai sebuah kelompok. Cepatnya kemajuan biasanya tergantung pada banyaknya keterbukaan yang anak-anak miliki dalam kecakapan  bekerjasama dan bergantung pada umur dan perkembangan mereka. Suatu saat anak-anak terlihat lebih dapat bekerjasama daripada yang lainnya; terkadang setelah beberapa minggu terlihat tidak berada di dalam kelompok manapun juga mulai berjalan dengan bagusnya. Semuanya itu butuh sebanyak satu tahun untuk mengajar kecakapan tersebut dengan baik, dan menurut Johnson dan Johnson (1986), terkadang hingga mencapai dua tahun sebelum kecakapan bekerjasama menjadi sifat dasar yang kedua.
Sebagaimana kita dapat menunjukkan bagaimana membuat surat, mengeja sebuah kata atau membubuhkan tanda baca dalam sebuah kalimat, maka kecakapan bekerjasama juga dapat diajarkan secara cermat. Kita seringkali menganggap (dengan keliru) bahwa anak-anak tahu apa saja yang meliputi dalam kegiatan bekerjasama ketika kita menganjurkan mereka ‘Masuk ke dalam kelompok dan bangun sebuah menara dengan blok’ atau ‘Dalam sebuah kelompok kecil susun jalan terbaik untuk mengukur lapangan bermain.
Pengamatan pada anak-anak seringkali mengungkapkan satu atau dua anak cakap dalam mengerjakan tugas ketika yang lainnya menjadi ‘pengikut’, terkadang hanya melihat atau sebaliknya ber-ikut serta. ‘Pengikut’ akan beruntung karena belajar bagaimana berkontribusi dalam kelompok. Anak yang cakap, sama halnya dengan yang lain, butuh untuk mengembangkan keterampilan sosial yang memungkinkan mereka untuk masuk dan terlibat dengan lainnya.
Seperti yang telah kita sebutkan dalam Bab 2 kecakapan untuk bekerja secara kooperatip secara berpasangan atau berkelompok dapat diajarkan dengan cara membuat kecakapan bekerjasama tampak jelas, praktek kecakapan bekerjasama dan memberikan umpan balik. Tiga komponen ini dapat terjadi setiap hari. Beberapa guru menyisihkan 15 menit setiap hari untuk mempertunjukkan sebuah kecakapan khusus dan kemudian menyuruh anak-anak untuk mempraktekkannya. Guru lainnya telah menjual ide pengetahuan bekerjasama dan berencana menjualnya hingga 75 sen dalam setiap sehari bersekolah sebagai kegiatan berpasangan atau berkelompok dimana kecakapan bekerjasama diajarkan, dipraktekkan dan diawasi.

Berikut ini anjuran pada bagaimana kecakapan bekerjasama dapat menjadi nampak jelas, dipraktekkan dan umpan balik diberikan pada sebuah kelompok didasarkan pada karya penting Johnson, Johnson dan Holubec (1986).
MEMBINA KECAKAPAN NAMPAK JELAS
Dimulai dengan menanyakan pada anak-anak apa yang mereka lakukan ketika mereka bekerjasama. Daftar ide mereka pada sebuah tabel dan tambahkan ke dalamnya jika ada usulan yang datang lagi dan lagi. Untuk kecakapan ini dan kecakapan bekerjasama yang  lainnya nampak jelas, kita dapat menunjukkan contoh-contoh dari kecakapan bekerjasama dengan tindakan, gunakan permainan peranan, membaca atau menceritakan cerita dari kesusasteraan dan tambahkan tabel T. Strategi mengajar ini sekarang akan didiskusikan lebih detil.
MEMBERI CONTOH DENGAN TINDAKAN
Mempertunjukkan kecakapan bekerjasama dengan tindakan dalam dunia bisnis, komite sekolah dan perundingan politik di seluruh dunia dapat disusun. Anjuran berikut ini  menggambarkan tentang kecakapan bekerjasama untuk memulai kelompok, bekerja secara berkelompok, memecahkan masalah dan mengatur perbedaan.
  • Undang tamu pembicara yang mengandalkan kecakapan bekerjasama dalam melakukan pekerjaannya, misalnya ketua dewan sekolah, wartawan koran, pengemudi taksi, pelayan supermarket, dll.
  • Gunakan naskah sandiwara yang dibuat secara komersial atau, lebih baik lagi, menciptakan permainan anda sendiri tentang kerjasama keluarga.
  • Analisa tabel atau diagram yang menunjukkan hubungan antara anggota kelompok kerjasama.
Peranan perekam dalam kelompok dapat dijelaskan lebih dahulu dengan mendiskusikan sebuah gambar dari aksi komite masyarakat dengan sebuah alat perekam atau aksi wartawan parlementer/wartawan pengadilan. Kemudian penyajian sebuah daftar tugas perekam dapat diilhamkan pada sebuah tabel untuk diikuti oleh kelompok perekam yang akan datang. Kerumitan dari tiap-tiap peranan dan mempraktekkan kecakapan bekerjasama bergantung pada umur dan pengalaman anak.
PERMAINAN PERANAN
Memulai permainan peranan dapat terjadi secara spontan. Sebagai contoh, setelah anak-anak bekerja secara kelompok dan memperoleh pengalaman yang sukar dalam bekerjasama guru dapat meminta kelompok untuk mencoba lagi sebuah kegiatan khusus. Murid lainnya di kelas dapat melihat, duduk dalam sebuah lingkaran atau dalam bentuk mangkuk ikan, dan beri umpan balik pada keefektifan dari kecakapan bekerjasama. Kelompok kemudian dapat mencobanya lagi, mempertimbangkan kembali usulan dari kelas.
Sebagian besar guru mendapati bahwa permainan peranan adalah sebuah tehnik mengajar yang sangat bagus, terutama ketika mereka berpartisipasi secara sukarela. Menggunakan kecakapan memulai kelompok secara bergiliran, sebagai contohnya. Anak-anak di kelas 1 tidak akan berbagi giliran jadi guru duduk di lantai dengan sebuah kelompok dari dua pengambil giliran yang cakap ketika mereka berdiskusi tentang apa yang mereka lakukan selama liburan. Guru, dengan dua anak lainnya, berlatih mengambil giliran dalam sebuah pola mangkuk ikan emas (goldfish) dengan pemain peran di tengah dan sisanya dalam sebuah bentuk setengah lingkaran yang besar, memperhatikan. Sisa kelas ditumpukan pada kelompok permainan peranan yang kecil. Mereka suka melihat guru sebagai anggota kelompok dan melihat dan memecahkan bagaimana seseorang itu mengambil keputusan tentang mengambil giliran.

Menuliskan kecakapan ‘mengambil giliran’ pada papan tulis memberikan petunjuk pada anak-anak dalam kecakapan khusus yang sedang dipraktekkan. Sebuah daftar dari mengamati tingkah laku anak-anak dapat kemudian ditulis setelah itu. Kita menemukan bahwa membatasi kecakapan menjadi satu untuk setiap permainan peranan dapat memfokuskan perhatian anak pada kecakapan khusus adalah yang terbaik.
MENDISKUSIKAN CERITA
Teoritikus sastra Louise Rosenblatt dan pembaca teoritikus seperti Margaret Meek (1982) dan Frank Smith (1978) mengakui bahwa sastra menyediakan pengalaman yang mirip untuk anak-anak dan serupa orang dewasa.
Meskipun banyak buku-buku didasarkan pada tema orang yang cerdik dan keberanian memenangi kesengsaraan, buku-buku sekarang ini lebih dan lebih banyak lagi  berhubungan dengan bekerjasama. Karakter-karakter yang membantu sesama untuk mencapai keberhasilan dalam buku-buku seperti Space Demons dan Skymaze yang dikarang oleh Gillian Rubinstein, dimana anak-anak membaca yang kemudian kelompok dapat mencapai hasil lebih daripada secara perorangan.
Di dalam buku bergambar Swimmy oleh Leo Lionni seekor ikan kecil bergabung dengan ikan kecil lainnya untuk membuat bentuk ikan yang sangat besar untuk mengalahkan seekor hiu yang mengancam. Pertanyaan yang cermat dapat menolong menunjukkan kepada anak-anak arah karakter dalam buku-buku tentang kerjasama ini, membuat keputusan dan memecahkan konflik.
(Rudiardi - Ahmad Basori)








Pendekatan Pembelajaran Kooperatif

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEje71lE6-ip-zph7Lo6r27FfuiClGkJJRSk4AoBTGT9OVpKsf_Bc6k4OIzWtbtTN71z68xsVN0lQq4UhJfLKdPWiQqcW6gpxw1GjibWvbl6pfdNqvB2ufPDXKFwF7_U-LYFWNFZkSq_IMA/s1600/Jigsaw.jpgStudent Teams Achievement Division (STAD)
STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman temannya di Universitas John Hopkin, dan merupakan pendekatan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Guru yang menggunakan STAD, juga mengacu kepada belajar kelompok siswa, menyajikan informasi akademik baru kepada siswa setiap minggu menggunakan presentasi verbal atau teks. Siswa dalam suatu kelas tertentu dipecah menjadi kelompok dengan anggota 4-5 orang, setiap kelompok haruslah heterogen, terdiri dan laki dan perempuan, berasal dan berbagai suku, memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Anggota tim menggunakan lembar kegiatan atau perangkat pembelajaran yang lain untuk menuntaskan materi pelajarannya dan kemudian saling membantu satu sama lain untuk memahami bahan pelajaran melalui tutorial, kuis, satu sama lain dan atau melakukan diskusi. Secara individual setiap minggu atau setiap 2 minggu siswa diberi kuis. Kuis itu diskor, dan flap individu diberi skor perkembangan.
Skor perkembangan ini tidak berdasarkan pada skor mutlak siswa, tetapi berdasarkan pada seberapa jauh skor itu melampaui rata-rata skor siswa yang lalu.
Setiap minggu pada suatu lembar penilaian singkat atau dengan cara lain, diumumkan tim-tim dengan skor tertinggi, siswa yang mencapai skor perkembangan tinggi, atau siswa yang mencapai skor sempurna pada kuis-kuis itu. Kadang-kadang seluruh tim yang mencapai kriteria tertentu dicantumkan dalam lembar itu. Prosedur ini akan dijelaskan lebih rinci kemudian.
Jigsaw
Jigsaw telah dikembangkan dan diuji coba oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins. Dalam penerapan jigsaw, siswa dibagi berkelompok dengan 5 atau 6 anggota kelompok belajar heterogen. Materi pembelajaran diberikan kepada siswa dalam bentuk teks. Setiap anggota bertanggung jawab untuk mempelajari bagian tertentu bahan yang diberikan itu. Sebagai contoh, jika materi yang diajarkan itu adalah alat ekskresi, seorang siswa mempelajari tentang ginjal, siswa lain mempelajari tentang hati, siswa yang lain lagi belajar tentang paru-paru, dan yang terakhir belajar tentang kulit. Anggota dan kelompok lain yang mendapat tugas topik yang sama berkumpul dan berdiskusi tentang topik tersebut. Kelompok ini disebut kelompok ahli. Dengan demikian terdapat kelompok ahli kulit, ahli ginjal, ahli paru-paru, dan ahli hati.
Selanjutnya anggota tim ahli ini kembali ke kelompok asal dan mengajarkan apa yang telah dipelajarinya dan didiskusikan di dalam kelompok ahlinya untuk diajarkan kepada teman kelompoknya sendiri. Gambar 2 menunjukkan hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli. Menyusul pertemuan dan diskusi kelompok asal, siswa-siswa itu dikenai kuis secara individual tentang materi belajar. Dalam Jigsaw versi Slavin, skor tim menggunakan prosedur skoring yang sama dengan STAD. Tim dan individu dengan skor-tinggi mendapat pengakuan dalam lembar pengakuan mingguan atau dengan cara lain.
Investigasi Kelompok (IK)
Investigasi kelompok mungkin merupakan model pembelajaran kooperatif yang paling kompleks dan paling sulit untuk diterapkan. Model ini dikembangkan pertama kali oleh Thelan. Dalam perkembangan selanjutnya model ini diperluas dan dipertajam oleh Sharan dan kawan-kawan dan Universitas Tel Aviv. Berbeda dengan STAD dan Jigsaw, siswa terlibat dalam perencanaan baik topik yang dipelajari dan bagaimana jalannya penyelidikan mereka. Pendekatan ini memerlukan norma dan struktur kelas yang lebih rumit daripada pendekatan yang lebih berpusat pada guru. Pendekatan ini juga memerlukan mengajar siswa keterampilan komunikasi dan proses kelompok yang baik.
Dalam penerapan IK ini guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok dengan anggota 5 atau 6 siswa yang heterogen. Dalam beberapa kasus, bagaimanapun juga, kelompok dapat dibentuk dengan mempertimbangkan keakraban persahabatan atau minat yang sama dalam topik tertentu. Selanjutnya siswa memilih topik untuk diselidiki, melakukan penyelidikan yang mendalam atas topik yang dipilih itu. Selanjutnya menyiapkan dan mempresentasikan laporannya kepada seluruh kelas. Sharan dkk (1984) telah menetapkan enam tahap IK seperti berikut ini.
  1. Pemilihan topik. Siswa memilih subtopik khusus di dalam suatu daerah masalah umum yang biasanya ditetapkan oleh guru. Selanjutnya siswa diorganisasikan menjadi dua sampai enam anggota flap kelompok menjadi kelompokkelompok yang berorientasi tugas. Komposisi kelompok hendaknya heterogen secara akademis maupun etnis.
  2. Perencanaan kooperatif Siswa dan guru merencanakan prosedur pembelajaran, tugas, dan tujuan khusus yang konsisten dengan subtopik yang telah dipilih pada tahap pertama.
  3. Implementasi. Siswa menerapkan rencana yang telah mereka kembangkan di dalam tahap kedua. Kegiatan pembelajaran hendaknya melibatkan ragam aktivitas dan keterampilan yang luas dan hendaknya mengarahkan siswa kepada jenis-jenis sumber belajar yang berbeda baik di dalam atau di luar sekolah. Guru skara ketat mengikuti kemajuan hap kelompok dan menawarkan bantuan bila diperlukan.
  4. Analisis dan sintesis. Siswa menganalisis dan mengevaluasi informasi yang diperoleh pada tahap ketiga dan merencanakan bagaimana inform asi tersebut diringkas dan disajikan dengan cara yang menarik sebagai bahan untuk dipresentasikan kepada seluruh kelas.
  5. Presentasi hasil final. Beberapa atau semua kelompok menyajikan hasil penyelidikannya dengan cara yang menarik kepada seluruh kelas, dengan tujuan agar siswa yang lain saling terlibat satu sama lain dalam pekerjaan mereka dan memperoleh perspektif luas pada topik itu. Presentasi dikoordinasi oleh guru.
  6. Evaluasi. Dalam hal kelompok-kelompok menangani aspek yang berbeda dan topik yang sama, siswa dan guru mengevaluasi tiap kontribusi kelompok terhadap kerja kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi yang dilakukan dapat berupa penilaian individual atau kelompok.
Pendekatan Struktural
Pendekatan terakhir dalam pembelajaran kooperatif telah dikembangkan oleh Spencer Kagen dkk (Kagen, 1993). Meskipun memiliki banyak persamaan dengan pendekatan yang lain, namun pendekatan ini memberi penekanan pada penggunaan struktur tertentu yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Struktur yang dikembangkan oleh Kagen ini dimaksudkan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional, seperti resitasi, di mana guru mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas dan siswa memberikan jawaban setelah mengangkat tangan dan ditunjuk. Struktur yang dikembangkan oleh Kagen ini menghendaki siswa bekerja saling membantu dalam kelompok kecil dan lebih dicirikan oleh penghargaan kooperatif, daripada penghargaan individual.
Ada struktur yang dikembangkan untuk meningkatkan perolehan isi akademik, dan ada struktur yang dirancang untuk mengajarkan keterampilan sosial atau keterampilan kelompok. Dua macam struktur yang terkenal, adalah think-pair-share dan numbered-head-together, yang dapat digunakan oleh guru untuk mengajarkan isi akademik atau untuk mengecek pemahaman siswa terhadap isi tertentu. Sedangkan active listening dan time token, merupakan dua contoh struktur yang dikembangkan untuk mengajarkan keterampilan sosial. Berikut ini akan diuraikan terlebih dahulu think-pair-share.
  • Think-pair-share
Strategi think-pair-share tumbuh dari penelitian pembelajaran kooperatif dan waktu-tunggu. Pendekatan khusus yang diuraikan di sini mula-mula dikembangkan oleh Frank Lyman dkk dan Universitas Maryland pada tahun 1985. Ini merupakan cara yang efektif untuk mengubah pola diskursus di dalam kelas. Strategi ini menantang asumsi bahwa seluruh resitasi dan diskusi perlu dilakukan di dalam seting seluruh kelompok. Think-pair-share memiliki prosedur yang ditetapkan secara eksplisit untuk memberi siswa waktu lebih banyak untuk berfikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain. Andaikan guru baru saja menyelesaikan suatu penyajian singkat, atau siswa telah membaca suatu tugas, atau suatu situasi penuh teka-teki telah dikemukakan. Sekarang guru menginginkan siswa memikirkan secara lebih mendalam tentang apa yang telah dijelaskan atau dialami. Ia memilih untuk menggunakan strategi think-pair-share sebagai gantinya tanya jawab seluruh kelas. Ia menerapkan langkah langkah seperti berikut ini.
Tahap -1: Thinking (berfikir)
Guru mengajukan pertanyaan atau isu yang berhubungan dengan pelajaran, kemudian siswa diminta untuk memikirkan pertanyaan atau isu tersebut secara mandiri untuk beberapa saat.
Tahap-2: Pairing.
Guru meminta siswa berpasangan dengan siswa yang lain untuk mendiskusikan apa yang telah dipikirkannya pada tahap pertama. Interaksi pada tahap ini diharapkan dapat berbagi jawaban jika telah diajukan suatu pertanyaan atau berbagi ide jika suatu persoalan khusus telah diidentifikasi. Biasanya guru memberi wakth 4-5 menit untuk perpasangan.
Tahap-3:
pada tahap akhir, guru meminta kepada pasangan untuk berbagi dengan seluruh kelas tentang apa yang telah mereka bicarakan. ini efektif dilakukan dengan cara bergiliran pasangan demi pasangan dan dilanjutkan sampai sekitar seperempat pasangan telah mendapat kesempatan untuk melaporkan.
  • Numberel heads together
Numberel heads together adalah suatu pendekatan yang dikembangkan oleh Spencer Kagen (1993) untuk melibatkan lebih banyak siswa dãlam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut. Sebagai gantinya mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas, guru menggunakan struktur empat langkah seperti berikut ini.
Langkah-1: Penomoran.
Guru membagi siswa ke dalam kelompok beranggota 3-5 orang dan kepada setiap anggota kelompok diberi nomor antara 1 sampai 5.
Langkah-2: Mengajukan Pertanyaan
Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan dapat bervariasi. Pertanyaan dapat amat spesffik dan dalam bentuk kalimat tanya. Misalnya “ Berapakah jumlah propinsi di Indonesia?” Atau berbentuk arahan misalnya: “Pastikanlah tiap orang mengetahui 5 buah ibu kota propinsi yang terletak di Pulau Sumatera.”
Langkah-3: Berpikir Bersama
Siswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan itu dan meyakinkan flap anggota dalam timnya mengetahui jawaban itu.
Langkah-4: Menjawab
Guru memanggil suatu nomor tertentu, kemudian siswa yang nomornya sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba untuk menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas.
DAFTAR PUSTAKA1997 Classroom Instruction and Management – Chapter 3 Cooperative Learning, McGraw-Hill dalam Mohammad Nur 2005 Pembelajaran Kooperatif PSMS Unesa








https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgH7undQotHleu9vbxhgobHkKpsCG0VN4jrrB1lsmsjReccOCoTHPlWwdQ7e8NFwjIxkfjcKsyVO0jQ_3ABCqmyoi7L0NUHzXWr85ZcFjl9oBVnQ0wCRPfokvwfpQpcdZ1NRrZ0CqIQdl8/s1600/belajar.jpgDaya tarik, sebagai hasil pembelajaran, erat sekali kaitannya dengan daya tarik bidang studi. Namun demikian, daya tarik bidang studi, dalam penyampaiannya, akan banyak tergantung pada kualitas pembelajarannya.
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa pengukuran daya tarik pembelajaran dapat dilakukan dengan mengamati apakah siswa ingin terus belajar atau tidak. Jadi, kecenderungan siswa untuk tetap terus belajar bisa terjadi karena daya tarik bidang studi itu sendiri, atau  bisa
juga karena kualitas pembelajarannya, atau keduanya. Untuk mempreskripsikan daya tarik sebagai hasil pembelajaran, maka tekanan diletakkan pada kualitas pembelajaran, bukan pada daya tarik yang berasal dari bidang studi.
Daya Tarik Bidang Studi
Pada dasarnya, setiap bidang studi memiliki daya tarik tersendiri, meskipun daya tarik ini amat tergantung pada karakteristik siswa, seperti: bakat, kebutuhan, minat, serta kecenderungan-kecenderungan atau pilihan-pilihan per-seorangan lainnya. Suatu bidang studi memiliki daya tarik tinggi bisa karena sesuai dengan bakat siswa, atau dibutuhkan secara pribadi oleh siswa, atau karena sekedar minat.
Daya tarik inilah yang menyebabkan siswa ingin mempelajari bidang studi itu. Namun kecenderungan ini, bagaimanapun juga, dipengaruhi oleh bagaimana bidang studi itu diorganisasi dan disampaikan kepada siswa. Jadi, strategi pengorganisasian pembelajaran  dan penyampaian pembelajaran  memegang peranan yang amat peting untuk mempertahankan dan sekaligus menunjukkan daya tarik bidang studi. Meskipun demikian, strategi pengelolaan, yang berfungsi untuk menata penggunaan kedua strategi pembelajaran  itu, peranannya tak dapat diabaikan.
Kualitas Pembelajaran
Adalah tugas pembelajaran  untuk menunjukkan daya tarik suatu bidang studi kepada siswa. Pembelajaran dapat mengubah semuanya. Suatu bidang studi bisa kehilangan daya tariknya karena kualitas pembelajaran  yang rendah. Kualitas pembelajaran selalu terkait dengan penggunaan metode pembelajaran yang optimal untuk mencapai tujuan pembelajaran, di bawah kondisi pembelajaran  tertentu. Ini berarti,  bahwa   untuk   mencapai   kualitas   pembelajaran
yang tinggi, bidang studi harus diorganisasi dengan strategi pengorganisasian yang tepat, dan selanjutnya disampaikan kepada siswa dengan strategi penyampaian yang tepat pula.
Sebagai hasil pembelajaran, kecenderungan siswa untuk tetap belajar, adalah tanggungjawab pembelajaran, bukan tanggungjawab bidang studi. Pembelajaran lah yang harus mampu membuat bidang studi itu menarik, dan tidak sebaliknya. Bukan karena daya tarik bidang studi, kemudian pembelajaran  menjadi menarik. Agar dapat mempreskripsikan strategi pembelajaran  yang optimal, maka hubungan antara bidang studi dan pembelajaran, lebih tepat diungkapkan dengan hubungan sebab-akibat. Di sini, pembelajaran  sebagai sebab dan daya tarik bidang studi sebagai akibat.

Indikator Daya Tarik

Variabel penting yang dapat digunakan sebagai indikator daya tarik pembelajaran  adalah penghargaan dan keinginan lebih (lebih banyak atau lebih lama) yang diperlihatkan oleh siswa. Kedua indikator ini dapat dikaitkan, baik pada bidang studi, maupun pada pembelajaran.
Penghargaan dan keinginan untuk lebih banyak mempelajari isi bidang studi, merupakan hasil pembelajaran  yang bukan hanya disebabkan oleh daya tarik bidang studi, tetapi terutama disebabkan oleh kualitas pembelajaran  yang mampu memciptakan penghargaan dan keinginan itu. Oleh karena itu, maka titik awal pengukuran daya tarik, sebagai hasil pembelajaran, haruslah diletakkan pada variabel metode pembelajaran: strategi pengorganisasian, penyampaian, dan pengelolaan pembelajaran. Variabel inilah yang paling menentukan kualitas pembelajaran  secara keseluruhan. 













https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj5qgcWVtbczvBXC1Dsx3eg2NwyeMNJNwvvdv-bGkna4WCyGtV_zmg_bgWSrAPUSgwRBsmv0nnJUY0cKpg7-QsjtCwQ2xxlPsxTurPQ4JjJSsUMxJj3VEOeJJ1q_NeGnL9RPvNnduDoukE/s320/belajar4.gifTipe Isi Bidang Studi

Berbagai pemikiran mengenai taksonomi hasil pembelajaran  yang didasarkan pada tipe isi bidang studi telah berkembang dewasa ini. Bloom (1956) telah mengklasifikasi hasil pembelajaran  menjadi tiga, yaitu:
  1. Kognitif.
  2. Sikap.
  3. Psikomotorik
  • Kognitif: Ranah yang menaruh perhatian pada pengembangan kapabilitas dan ketrampilan intelektual.
  • Sikap: Ranah yang berkaitan pengembangan perasaan, sikap, nilai, dan emosi.
  • Psikomotorik: Ranah yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan manipulatif atau ketrampilan motorik.

Ranah Kognitif

Bloom mengklasifikasi lebih lanjut ranah kognitif menjadi enam, dan tiap-tiap klasifikasi dikembangkan lagi menjadi bagian-bagian klasifikasi yang lebih khusus. Semua klasifikasi diurut secara hirarkhis dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks. Keenam klasifikasi ranah kognitif Bloom adalah sebagai berikut:
  1. Pengetahuan
  2. Pemahaman
  3. Penerapan
  4. Analisis
  5. Sintesis
  6. Penilaian
  • Pengetahuan: Klasifikasi yang menekankan pada mengingat, apakah dengan mengungkapkan atau mengenal kembali sesuatu yang telah pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan. 
  • Pemahaman: Klasifikasi ini menekankan pada pengubahan informasi ke bentuk yang lebih mudah dipahami.
  • Penerapan: Menggunakan abstraksi pada situasi tertentu dan konkrit. Tekanannya adalah untuk memecahkan suatu masalah. 
  • Analisis: Memilah informasi ke dalam satuan-satuan bagian yang lebih rinci sehingga dapat dikenali fungsinya, kaitannya dengan bagian yang lebih besar, serta organisasi keseluruhan bagian.
  • Sintesis: Penyatuan bagian-bagian untuk membentuk suatu kesatuan yang baru dan unik.
  • Penilaian: Pertimbangan-pertimbangan tentang nilai dari sesuatu untuk tujuan tertentu.
Gagne (1977;1985) mengklasifikasi hasil pembelajar-an menjadi lima, dan dari lima klasifikasi ini tiga di antaranya termasuk ranah kognitif. Ketiga klasifikasi yang termasuk ranah kognitif adalah:
  1. Ketrampilan intelektual
  2. Informasi verbal
  3. Strategi kognitif
Ketrampilan intelektual dikembangkan lagi menjadi lima kategori yang diurut dengan menggunakan hubungan prasyarat belajar:
  1. Diskriminasi
  2. Konsep konkrit
  3. Konsep abstrak
  4. Kaidah
  5. Kaidah tingkat tinggi 
Merrill (1983) mengembangkan suatu model pembelajaran  yang disebut dengan component display theory (CDT). Dalam model ini, hasil pembelajaran  diklasifikasi ke dalam dua dimensi: tingkat unjuk-kerja dan tipe isi. Klasifikasi ini hanya diterapkan dalam belajar ranah kognitif. Dimensi tingkat unjuk-kerja dibagi menjadi tiga, yaitu:
  1. Mengingat
  2. Menggunakan
  3. Menemukan,
sedangkan tipe isi pembelajaran dibedakan menjadi empat, yaitu:
  1. Fakta
  2. Konsep
  3. Prosedur
  4. Prinsip

Ranah Kognitif

Bloom mengklasifikasi lebih lanjut ranah kognitif menjadi enam, dan tiap-tiap klasifikasi dikembangkan lagi menjadi bagian-bagian klasifikasi yang lebih khusus. Semua klasifikasi diurut secara hirarkhis dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks. Keenam klasifikasi ranah kognitif Bloom adalah sebagai berikut: (Klasifikasi lengkap dapat diperiksa dalam lampiran 1)
  1. Pengetahuan
  2. Pemahaman
  3. Penerapan
  4. Analisis
  5. Sintesis
  6. Penilaian
  • Pengetahuan: Klasifikasi yang menekankan pada mengingat, apakah dengan mengungkapkan atau mengenal kembali sesuatu yang telah pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan. 
  • Pemahaman: Klasifikasi ini menekankan pada pengubahan informasi ke bentuk yang lebih mudah dipahami.
  • Penerapan: Menggunakan abstraksi pada situasi tertentu dan konkrit. Tekanannya adalah untuk memecahkan suatu masalah. 
  • Analisis: Memilah informasi ke dalam satuan-satuan bagian yang lebih rinci sehingga dapat dikenali fungsinya, kaitannya dengan bagian yang lebih besar, serta organisasi keseluruhan bagian.
  • Sintesis: Penyatuan bagian-bagian untuk membentuk suatu kesatuan yang baru dan unik.
  • Penilaian: Pertimbangan-pertimbangan tentang nilai dari sesuatu untuk tujuan tertentu.
Gagne (1977;1985) mengklasifikasi hasil pembelajar-an menjadi lima, dan dari lima klasifikasi ini tiga di antaranya termasuk ranah kognitif. Ketiga klasifikasi yang termasuk ranah kognitif adalah:
  1. Ketrampilan intelektual
  2. Informasi verbal
  3. Strategi kognitif
Ketrampilan intelektual dikembangkan lagi menjadi lima kategori yang diurut dengan menggunakan hubungan prasyarat belajar:
  1. Diskriminasi
  2. Konsep konkrit
  3. Konsep abstrak
  4. Kaidah
  5. Kaidah tingkat tinggi 
Merrill (1983) mengembangkan suatu model pembelajaran  yang disebut dengan component display theory (CDT). Dalam model ini, hasil pembelajaran  diklasifikasi ke dalam dua dimensi: tingkat unjuk-kerja dan tipe isi. Klasifikasi ini hanya diterapkan dalam belajar ranah kognitif. Dimensi tingkat unjuk-kerja dibagi menjadi tiga, yaitu:
  1. Mengingat
  2. Menggunakan
  3. Menemukan,
sedangkan tipe isi pembelajaran dibedakan menjadi empat, yaitu:
  1. Fakta
  2. Konsep
  3. Prosedur
  4. Prinsip
Kombinasi dimensi unjuk-kerja dan tipe isi melahirkan matriks dua dimensi, seperti telah diuraikan dalam Bab 2.

Ranah Sikap

Ranah sikap dikembangkan oleh Krathwohl, Bloom, dan Masia (1964). Dikemukakan ada lima klasifikasi ranah sikap, dan tiap klasifikasi dibagi lebih lanjut menjadi bagian-bagian yang lebih khusus. Kelima klasifikasi utama mereka adalah: (Klasifikasi lebih rinci ditunjukkan dalam lampiran 2)
  1. Menerima
  2. Merespon
  3. Menghargai
  4. Mengorganisasi
  5. Bertindak konsisten
  • Menerima: Ranah ini berkaitan dengan keinginan siswa untuk terbuka (atau, peka) pada perangsang atau pesan-pesan yang berasal dari lingkungannya. Pada tingkat ini muncul keinginan menerima perangsang, atau, paling tidak, menyadari bahwa perangsang itu ada.
  • Merespon: Pada tingkat ini muncul keinginan untuk melakukan tindakan sebagai respon pada perangsang. Tindakan-tindakan ini dapat disertai dengan perasan puas dan nikmat.
  • Menghargai: Penyertaan rasa puas dan nikmat ketika melakukan respon pada perangsang, menyebabkan individu ingin secara konsisten menampilkan tindakan itu dalam situasi yang serupa. Pada tahap ini individu dikatakan menerima suatu nilai, dan mengembang-kannya, serta ingin terlibat lebih jauh ke nilai itu.
  • Mengorganisasi: Individu yang sudah secara konsisten dan berhasil menampilkan suatu nilai, pada suatu saat akan menghadapi situasi di mana lebih dari satu nilai yang bisa ditampilkan. Bila ini terjadi, maka individu akan mulai ingin menata nilai-nilai itu ke dalam suatu sistem nilai, menetukan keterkaitan antar nilai, dan menetapkan nilai mana yang paling dominan.
  • Bertindak konsisten sesuai dengan nilai yang dimilikinya. Ini adalah tingkat tertinggi dari ranah sikap. Di mana individu akan berperilaku secara konsisten berdasarkan nilai yang dijunjungnya.
Klasifikasi ranah afektif ini didasarkan pada asumsi bahwa perilaku tingkat yang lebih rendah merupakan prasyarat bagi perilaku tingkat yang lebih tinggi. Itulah sebabnya, ranah ini diurut dalam suatu garis kontinum dalam bentuk hirarkhis, dan pencapaiannya bersifat kumulatif. Mulai dari tahap pertama, yaitu menerima suatu nilai, keinginan untuk merespon, kepuasan yang didapat ketika merespon akan memunculkan penghargaan pada nilai itu, selanjutnya mengorganisasi nilai-nilai ke suatu sistem nilai yang sifatnya amat pribadi, dan akhirnya berperilaku secara konsisten berdasarkan nilai yang dimiliki dan dijunjungnya.

Ranah Psikomotorik

Simpson (1966) mengembangkan klasifikasi ranah psikomotorik menjadi lima. Mulai dari tingkat yang paling rendah, yaitu persepsi, sampai pada tingkat penguasaan ketrampilan yang terpola. Simpson masih mempertanya-kan satu tingkat lagi setelah tingkat kelima, yaitu penyesuaian dan keaslian. Tingkat ini belum dimasukkan secara sistematik dalam klasifikasinya.
Klasifikasi ranah psikomotorik adalah sebagai berikut:
  1. Persepsi
  2. Kesiapan
  3. Respon terbimbing
  4. Mekanisme
  5. Respon terpola
  6. Penyesuaian dan Keaslian

  • Persepsi: Proses munculnya kesadaran tentang adanya objek dan karakteristik-karakteristiknya melalui indra.
  • Kesiapan: Pada tigkat ini, siswa siap untuk melakukan suatu tindakan, baik secara mental, fisik, atau emosional.
  • Respon terbimbing: Siswa melakukan tindakan dengan mengikuti suatu model. Ini dapat dilakukan dengan meniru model dan coba-gagal sampai tindakan yang benar dikuasai.
  • Mekanisme: Pada tingkat ini siswa telah mencapai tingkat kepercayaan tertentu dalam menampilkan ketrampilan yang dipelajari.
  • Respon terpola: Pada tingkat ini, siswa telah mencapai tingkat ketrampilan yang tinggi. Ia dapat menampilkan suatu tindakan motorik yang menuntut pola tertentu, dengan tingkat kecermatan dan/atau keluwesan, serta efisiensi yang tinggi.
  • Penyesuaian dan Keaslian: Tingkat ini masih dipersoalkan oleh Simpson, perlu dimasukkan atau tidak. Pada tingkat ini, siswa telah begitu trampil sehingga ia dapat menyesuaikan tindakannya untuk situasi-situasi yang menuntut persyaratan tertentu.  Ia juga dapat mengembangkan pola tindakan baru untuk memecahkan masalah-masalah tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar