Selasa, 23 Agustus 2011

Makalah PKn SD


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFQJ3RzkHJUf04z2v8tWspcvaKQXo3nnoyJA0XTJzWEwrI93wQksPlagVFCixF-QGU6l1PxYhfHUuEFeRcS5vjFARjb8glzjqX0N6pgtGuud1MInS7WWF1Ea_HE_VvVexOlK01I1s0sHM/08:26 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgNUg7O6Tcz9jqfoJf5jFRVhW1sIRYZF3oOoO8SWcl3SrrYeTonDMFwqW1w8nJCWeDd0jhRdoWP2XePW5MX8h5LaoALZNGNY_lz3A7FEhLEudlw0nP0R-SBygzUqzZok78WS1LmwzJLaMY/el_shalih
MEMAHAMI PENDEKATAN PKN SEBAGAI PENDIDIKAN NILAI DAN MORAL

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Pembelajaran PKN SD
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjL13eIRkFYWHpO7f3PU_7ueD1V-OBhz8hOuFAZ-cuE9jtlDKrbEzrnHW3wpUgnkeKmlgIOVGiynhHLkTy3sz9QCwGhqw17NmZwLObjyPvZGMKBdSof54JVwhJXIOFJ-BP-R6A356srefQ/s200/Upi+1+Color.jpg







Oleh :

1. Arief Hidayat (0801543)
2. Eni Lestari (0802029)
3. Meilani (0801550)
4. Nia Kurnia (1004415)
5. Subhi Ash Shalih (0801542)



PROGRAM PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
KAMPUS CIBIRU
BANDUNG
2010
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., sebab berkat taufik dan hidayahnya-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Memahami Pendekatan PKn sebagai Pendidikan Nilai dan Moral” ini.
Makalah ini disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah Dasar. Disamping itu, untuk menambah wawasan penulis dalam bidang ilmu kependidikan.
Sejalan dengan tersusunnya makalah ini penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari beberapa pihak. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Yth. Bapak Edi Targana selaku pembimbing dan teman-teman yang telah membantu penulis dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Bandung, 28 Oktober 2010

Penulis



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii

BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Makalah 2
D. Kegunaan Makalah 2
E. Prosedur Makalah 2
BAB II PEMAHASAN
A. Pengertian Pendekatan
B. Pendidikan Nilai dan Moral dalam Pembelajaran PKn
C. Macam-macam Pendekatan PKn
D. Implementasi Pendidikan Nilai dan Moral dalam kehidupan sehari-hari
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA









BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan nilai dan moral memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan budi pekerti dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari Pendidikan Nilai dan Moral dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah budi pekerti, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan Pendidikan Nilai dan Moral pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian masal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, seperti Jakarta, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian siswa melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan budi pekerti.
Berkaitan dengan pembahasan di atas, bahwa pendidikan nilai dan moral adalah sebuah wadah pembinaan akhlak. Maka hal ini perlu adanya sebuah pendekatan yang akan membawa siswa atau peserta didik untuk memaknai dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Disampaikan itu kepada calon pendidik, khususnya seorang guru yang kemudian dijadikan sebagai pengetahuan untuk menerapkan nilai dan moral dalam pembelajaran PKn di Sekolah Dasar maupun di tingkat selanjutnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka penulis mendapatkan rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud Pendekatan?
2. Apa yang dimaksud Nilai dan Moral?
3. Apa macam-macam pendekatan pendidikan dalam pembelajaran PKn?
4. Bagaimana implementasi pembelajaran PKn dalam kehidupan sehari-hari?
C. Tujuan Makalah
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk mendeskripsikan:
1. Pengertian pendekatan
2. Pengertian Nilai dan Moral
3. Macam-macam pendekatan pendidikan dalam pembelajaran PKn
4. Implementasi pembelajaran PKn dalam kehidupan sehari-hari
D. Kegunaan Makalah
Diharapkan makalah yang penulis susun dapat bermanfaat, khususnya bagi kita sebagai calon guru yang akan menjadi guru kelak.

E. Prosedur Makalah
Dalam pembuatan makalah ini penulis menggunakan metode studi pustaka, yaitu penulis membandingkan antara berbagai literatur sebagai bahan materi. Baik itu dari buku, ataupun media lain (internet) yang dianggap relevan dengan materi yang dibahas.








BAB II
PEMBAHASAN

A. Pendekatan
Dalam proses pembelajaran dikenal beberapa istilah yang memiliki kemiripan makna, sehingga seringkali orang merasa bingung untuk membedakannya. Istilah-istilah tersebut adalah: (1) pendekatan pembelajaran, (2) strategi pembelajaran, (3) metode pembelajaran; (4) teknik pembelajaran; (5) taktik pembelajaran; dan (6) model pembelajaran. Berikut ini akan dipaparkan istilah-istilah tersebut, dengan harapan dapat memberikan kejelasaan tentang penggunaan istilah tersebut.
Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).
B. Macam-macam Pendekatan PKn
Beberapa pendekatan nilai dan moral yang digunakan dalam pembelajaran PKn adalah sebagai berikut :
1. Evokasi
Pendekatan ini menekankan pada inisiatif siswa untuk mengekspresikan dirinya secara spontan yang didasarkan pada kekebasan dan kesempatan. Pendekatan seperti ini baik sekali namun dilihat dari budaya masyarakat ini terumata yang jauh dari kehidupan kota melaksanakan pendekatan tersebut tentulah menghadapi kendala-kendala cultural dan psikologikal. Untuk dapat mengimplementasikan pendekatan ini, pernana guru amat diperlukan dalam apa yang disebut dengan “breaking the ice” agar setiap anak merasakan adanya suasana terbuka, bersahabat dan kondusif untuk dapat “menyatakan dirinya” menyatakan apa yang menjadi pemikirannya dan mengungkapkan perasaannya.
Melatih siswa dengan cara seperti itu pada dasarnya merupakan salah satu bentuk pendewasaan agar terbiasa dalam merasakan manfaat situasi seperti itu, sehingga untuk masa-masa yang akan dating mereka pun dapat berbuat yang sama atau bahkan melebihinya. Keberhasilan pendekatan tersebut juga amat bergantung pada dorongan dan rangsangan yang diberikan guru dengan mengandalkan pada stimulus-stimulus tertentu. Selain peranan guru, peranan keluarga dan masyarakat juga amat penting oleh karena apa yang dibicarakan dalam kelas yang dibatasi oleh empat dinding kelas dapat member makna dalam belajar siswa.
Peranan kedua unsut tersebut dalam menumbuhkan keyakinan siswa tentang nilai mora yang dibahas di kelas, harus sejalan dengan apa yang di lihat dan dialaminya dalam kehidupan di keluarga dan di masyarakat. Jika tidak ada kesesuian di antara ketifa unsut tersebut maka akan terjadi konflik dalam diri anak yang dalam istilah Pendidikan Kewarganegaraan disebut intra personal conflict yaitu konflik yang terjadi dalam diri siswa. Konflik dalam diri pribadi anak itu dapat berlanjur menjadi konflik antar pribadi yang disebut inter personal conflict karena melihat tidak adanya keajekan antara nilai yang dipelajari dan diuakininya dengan apa yang terjadi di sekolah dan di masuarakat secara keseluruhan.
Pengalaman dan pembiasaan nilai-nilai Pancasila sebagai tujuan PKn merupakan langkah-langkah penting dalam pengajaran nilai. Hal itu sejalan dengan pendapat Dewey yang menyatakan bahwa “…intellectual and ethical competence could be achieved only by reflecting on one’s actual, concrete, concrete experience.” Sebabnya adalah walaupun dikenalkan berbagai konsep nilai misalnya tentang demokrasi, keadilan dan menghargai orang lain jika struktur kelas dan sekolah tetap saja mencontoh dan menekankan pada hubungan social yang otoriter maka hangan diharapkan aka nada belajar yang efektif.
Kepedulian terhadap hubungan antara abstraksi dengan pengalaman siswa sendiri dalam pemahaman Dewey disebut dengan istilah “child centeredness.” Anak membutuhkan moral yang ideal yang diharapkan dapat dikuasainya secara intelektual. Pendidikan moral yang didasarkan pada kerangka kerja Dewey adalah kegiatan kerjasama kelompok, bekerja dengan orang lain dalam masalah yang katual atai masalah yang sebenarnya, dalam bidang apa saja (seni, sains, politik, mekanik) akan membantu anak menghargai pandangan dan nilai saling member dan menerima (mutual exchange).
Moralita memang tidak dapat diajarkan hanya melalui contoh kata-kata yang disampaikan oleh guru. Siswa membutuhkan untuk saling berinteraksi pada kegiatan-kegiatan yang betul-betul merupakan kepedulian dan perhatian mereka. Teknik mengajar yang dapat digunakan dalam menggunakan pendekatan ini diantaranya adalah teknik mengungkapkan nilai yang dikenal dengan Value Clarification Technique.
Hersh (1980) dkk. Misalnya menjelaskan bahwa “Morality…depends on the orchestration of human caring, objective thingking, and determinan action. …Morality is neither good motives nor right reason, nor resolute action. It is all three. …three was no discernible separation between his feelings, thoughts, and action; they seemed to fit together at once, as part og a united front against a common threat.” Sikap atau perilaku moralitas itulah yang kiranya menjadi tugas dan sekaligus tantangan utama guru SD. Masalah akan semakin rumit terutama jika dikaitkan pengajar nilai dan moral untuk SD.
2. Inkulkasi (Menanamkan)
Pendekatan ini didasarkan pada sejumlah pertanyaan nilai yang telah disusun terlebuh dahulu oleh guru. Tujuannya adalah agar pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut masalah nilai tersebut dapat digunakan untuk mempengaruhi dan sekaligus mengarahkan siswa kepada suatu kesimpulan nilai yang sudah direncanakan. Peranan guru dalam hal ini amat menentukan oleh karena gurulah yang menentuka kearah mana siswa akan dibawa atau diarahkan atau dikondisikan secara halus dan hati-hati.
Gurulah dengan pertanyaan dan arah kesimpulan atau pendapat yang menentukan dalam penkdekatan ini adalah Teknik Inkuiri Nilai (Value Inquiru Question Technique) di mana target nilai yang diharapkan dapat dicapai dengan memanipulasi kedalam sejumlah pertanyaan.
3. Pendekatan Kesadaran
Dalam hal ini yang menjadi sasaran adalah bagaimana mengungkap dan membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai tertentu yang ada pada dirinya atau pada orang lain. Tentu saja kesadaran itu akan tumbuh menjadi sesuatu yang menumbuhkan kesadarannya tentang nilai atau seperangkat nilai-nilai tertentu. Hanya dengan kesadaran tertentu itu melalui kegiatan-kegiatan tertentu yang direncanakan oleh guru anak dapat mengungkapkan nilai-nilai dirinya atau nilai-nilai orang lain. Jendela Johary (Johary Window) kiranya dapat membantu menumbuhkan kesadaran siswa tentan gidirnya atau diri orang lain.
4. Penalaran Moral
Salah satu pendekatan dalam pendidikan moral adalah penalaran moral dimana anak dilibatkan dalam suatu dilemma moral sehingga keputusan yang diambil terhadap dilemma moral harus dapat diberikan alas an-alasan moralnya yang masuk akal. Dilemma moral adalah satu bentuk teknik mengajar nilai dan miral yang dianggap tepat terutama bagi kelas-kelas yang tinggi, misalnya kelas IV, V dan VI. Patut disadari bahwa dalam pendidikan nilai dan moral berbagai cara dapat digunakan sebagai stimulus dalam melibatkan nalar dan afeksi siswa adalah melalui pertanyaan, pernyataan, gambar, ceritera, dan gambar keadaan yang bersifat dilematis.
Dalam pengajaran PKn misalnya melibatkan siswa sebagai individu yang “merasakan” dan “larut” dalam situasi yang sengaja diciptakan untuk mendorong siswa menggunakan nalar dan perasaannya terhadap suatu situasi atau kejadian, prinsip, pandangan atau masalah merupakan upaya-upaya dasar dalam pendidikan nilai dan moral. Tanpa upaya-upaya dasar semacam itu, pendidikan nilai dan moral serta PKn khususnya akan sulit mencapai tujuan-tujuannya secara optimal. Dalam pendekatan dilematis sebagai salah satu pendekatan akan lebih efektif jika guru berhasil melibatkan secara intens nalar dan perasaan siswa sebab walaupun yang menjadi dasar utama adalah nalarnya atau reasoning-nya, namun factor perasaan siswa jufa akan memegang peranan penting dalam member alas an-alasan moral tersebut.
Peranan stimulus amat besar sebab stimulus yang didasarkan pada hal yang bersifat dilematis, akan mengundang siswa mengkaji dengan nalar nilai dan moral yang terlibat dalam masalah yang bersifat dilematis tersebut. Dalam proses pengkajian tersebut siswa akan melibatkan nilai-nilai yang dimilikinya dihadapkan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam masalah dilematis tersebut. Dengan itu juga diharapkan siswa sekaligus menghubungkannya dengan nilai-nilai yang umum dimiliki oleh orang lain atau umum dalam menghadapi masalah-masalah dilematis seperti itu. Oleh karena dalam pendekatan ini yang menajdi focus adalah nalar atau yang berkaitan dengan kognitifnya maka pendekatan ini amat sesuai dengan apa yang kita sebut dengan Cognitive Moral Development dari Kohlberg. Bagi Kohlberg terhadap kaitan yang erat antara perkembangan kognitif dan kematangan atau perkembangan moral seseorang.
5. Pendekatan Analisis Nilai
Melalui pendekatan ini siswa diajak untuk mengaji atau menganalisis nilai yang ada dalam suatu media atau stimulus yang memang disiapkan oleh guru dalam mengajarkan pendidikan nilai dan moral. Dalam melakukan pengkajian tentu saja para siswa sudah dibekali dengan kemampuan analisisnya. Melakukan analisis sebagaimana diketahui adalah merupakan salah satu tahapan dalam tingkat pengetahuan atau ingatan dan analisis adalah satu tahapan dalam keterampilan berpikir sebelum sampai pada sintesis dan evaluasi.
Dalam melakukan analisis nilai tentu saja siswa akan sampai pada tahapan menilai apakah suatu nilai itu dianggap baik atau tidak. Jika menggunakan nanalisis nilai, tentu saja disesuaikan dengan kemampuan siswa. Analisis nilai dapat dimulai oleh siswa yang dimulai dari sekedar melaporkan apa yang dilihat dan dihadapi sampai pada memilih dan mengemukakan hasil pengkajian yang lebih teliti dan lebih tepat.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa pendekatan ini berkaitan dengan kognitif maka jelas bahwa antara pendekatan lima berkaitan erat dengan pendekatan empat yaitu penalaran moral. Pendekatan ini banyak sekali digunakan dalam teknik mengungkap nilai.
6. Pengungkapan Nilai
Pengungkapan Nilai melihat pendidikan moral lebih pada upaya meningkatkan kesadaran diri (self-awareness) dan memperhatikan diri sendiri (self-caring) dan bukannya pemecahan masalah. Pendekatan ini juga membantu siswa menemukan dan memeriksa nilai mereka untuk menemukan keberartian dan rasa aman diri. Oleh sebab itu maka pertimbangan (judging) adalah merupakan factor kunci dalam model tersebut, namun pertimbangan yang dimaksud adalah pertimbangan tentang yang disenangi dan yang tidak disenangi, dan bukan sesuatu yang diyakini seorang sebagai hal yang benar atau salah.
Melalui pendekatan ini siswa dibina kesadaran emosionalnya tentang nilai yang ada dalam dirinya melalui cara-cara kritis dan rational dan akhirnya menguji kebenaran, kebaikan atau ketepatannya. Pengungkapan nilai tidak menganggap nilai moral sebagai sebuah status dalam rentangan nilai-nilai. Semua nilai termasuk moral dianggap sebagai sesuatu yang bersifat pribadi dan relativf. Walaupun dikatakan bahwa Teknik Pengungkapan Nilai ini banyak dipakai ternyata juga banyak menghadapi tantangan, oleh karena itu pendekatan ini dianggap memiliki banyak kelemahan.
7. Pendekatan Komitmen
Pendekatan komitmen dalam pendidikan nilai dan moral mengarahkan dan menekankan pada seperangkat nilai yang akan mendasari pola piker setiap guru yang bertanggung jawab terjadap pendidikan nilai dan moral. Dalam PKn sudah barang tentu yang menjadi komitmen dasarnya adalah nilai-nilai moral Pancasila serta Undang-undang Dasar 1945. Nilai moral tersebut telah menjadi komitmen bangsa dan negara Indonesia untuk terus dilestarikan sebagai nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Dalam mengajarkan nila dan moral tersebut nilai moral Pancasila merupakan nilai sentralnya tanpa menutup kemungkinan mengajarkan nilai-nilai lainnya yang sesuai dan tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Hal itu merupakan perwujudan dari komitmen Bangsa Indonesia khususnya Orde Baru untuk senantiasa melaksanakannya secara murni dan konsekuen. Untuk terlaksananya hal tersebut sudah barang tentu komitmen terutama guru, orang tua, serta masyarakat dan juga siswa merupakan hal yang paling pokok bagi keberhasilan PKn tersebut.
Tujuan utama pendekatan ini adalah untuk melatih disiplin siswa dalam pola pikir dan tindakannya agar senantiasa sesuai dengan nilai-nilai moral yang telah menjadi komitmen bersama itu. Oleh karena nilai—nilai yang telah menjadi komitmen tersebut adalah nilai-nilai bersama maka pendekatan tersebut diharapkan pula dapat membina integritas social para siswa. Persoalan utama sekarang adalah bagaimana hal itu dilakukan pada tingkat SD.
8. Pendekatan Memadukan (Union Approach)
Pedekatan ke delapan yang diajukan Superka adalah menyatukan diri siswa dengan pengalaman dalam kehidupan “riil” yang dirancang oleh guru dalam proses belajar-mengajar. Proses penyatuan tersebut tidak lain adalah dimaksud agar siswa benar-benar mengalami secara langsung pengalaman-pengalaman yang direncanakan guru melalui berbagai metode mengajar yang dipilih guru untuk tujuan tersebut. Untuk mencapai tujuan pengajaran seperti yang diharapkan itu, guru dapat menggunakan berbagai metode diantaranya Partisipatori, Simulasi, Sosio Drama, dan Studi Proyek.
Siswa SD sesuai dengan tingkat kemampuan dan perkembangan berpikirnya memang lebih menyenangi contoh-contoh konkrit. Contoh konkrit tersebut adalah contoh-contoh perilaku yang dapat dilaksanakan dlaam kehidupan siswa. Penerapannya mungkin dalam kelompok diskusi di kelas, dalam kelompok bermain di sekolah atau dalam kehidupan di tengah-tengah keluarga. Karena itu dalam prinsip pengajaran dianjurkan agar guru {Kn SD dalam mengajarnya memulai dari hal-hal konkrit kepada yang abstrak apalagi materi pendidikan moral pada dasarnya bersifat abstrak.
Salah satu permasalahan pokok yang dihadapi guru adalah bagaimana mencari contoh-contoh konkrit yang memang secara langsung menyentuh aspek kehidupan anak. Apa yang secara langsung menyentuh kebuthan seorang akan lebih mudah dihayati dan dilaksanakan. Kiranya demikian pula dengan mata pelajaran PKn SD.
Oleh sebab itu dalam mengajarnya guru PKn SD diharapkan dapat (a) mengemukakan berbagai contoh perilaku, (b) membantu siswa agar dapat mengikuti/mencontoh berbagai perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral Pancasila dan tuntutan kehidupan masuarakat sekitarnya yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral Pancasila tersebut. Sebagai contoh misalnya adalah, guru dalam mengajarnya sebaiknya lebih menekankan pada contoh-contoh yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa.
Contoh-contoh pengalaman nilai-moral dalam berbagai situasi dan konteks kiranya dapat membantu siswa untuk lebih memahami dan menghayati serta mengamalkan nilai-nilai moral yang disampaikan memalui mata pelajaran PKn SD. Nilai-nilai yang mendasari sikap dan perilaku dalam keluarga, sekolah, dan lingkungan bermain serta lingkungan yang lebih luas haru merupakan materi penting untuk dipahami anak-anak SD.
Nilai-nilai dalam keluarga dimaksud diantaranya adalah kasih saying, saling menghormati, menyenangi kebersihan dan keindahan, kepatuhan. Dapat juga yang berkaitan dengan lingkungan belajar anak seperti, saling menyayangi, tolong menolong, adil, berdisiplin, mematuhi aturan permainan, tertib dan jujur, dan bersikap sportif. Nilai-moral dalam lingkungan kelas atau sekolah juga perlu diperhatikan misalnya dating dan menyelesaikan tugasnya tepat waktu, berbari dengan rapih saat memasuki kelas, memelihara kebersihan kelas dan sekolah, memelihara buku dan peralatan sekolah, menghormati guru dan petugas sekolah lainnya.
C. Implementasi Pembelajaran PKn dalam kehidupan sehari-hari
Kenakalan remaja disebabkan oleh beberapa hal antara lain kesalahan sistem pengajaran di sekolah yang kurang menanamkan sistem nilai, transisi kultural, kurangnya perhatian orang tua, dan kurangnya kepedulian masyarakat pada masalah remaja. Untuk mengatasi permasalahan remaja tersebut perlu dilakukan secara sistemik dan komprehensip melalui lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, dan melalui kebijakan pemerintah. Hal ini dapat dapat dikaji dan dilakukan melalui berbagai disiplin ilmu (interdisipliner) yaitu agama, moral (PPKn), olahraga kesehatan, biologi, Psikologi, sosial, hukum, dan politik.
Tulisan ini berusaha mendeskripsikan masalah kenakalan remaja (siswa SLTP & SLTA) terutama pengguna narkoba dan berusaha untuk memberikan solusi. Penulis mengharapkan artikel ini dapat dijadikan salah satu referensi dalam memberantas narkoba. Memang untuk mengatasi masalah kenakalan remaja perlu adanya kerjasama antara keluarga, sekolah, masyarakat, dan pemerintah secara kompak sehingga permasalahan yang di hadapi para remaja dapat ditangulangi secara tuntas.


































BAB III
PENUTUP

Berbagai pendekatan pendidikan nilai yang berkembang mempunyai aspek penekanan yang berbeda, serta mempunyai kekuatan dan kelemahan yang relatif berbeda pula. Berbagai metode pendidikan dan pengajaran yang digunakan oleh berbagai pendekatan pendidikan nilai yang berkembang dapat digunakan juga dalam pelaksanaan Pendidikan Nilai dan Moral. Hal tersebut sejalan dengan pemberlakukan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang proses pembelajarannya memadukan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
Pelaksanaan program-program Pendidikan yang memfokuskan aspek Nilai dan Moral perlu disertai dengan keteladanan guru, orang tua, dan orang dewasa pada umumnya. Lingkungan sosial yang kondusif bagi para siswa, baik dalam keluarga, di sekolah, dan dalam masyarakat juga memberikan kontribusi positif dalam penerapan pendidikan nilai dan moral secara holistik.





















DAFTAR PUSTAKA

Wahab, A. A., (1995). Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN). Bandung: UPI Press.
Nuruddin, M. (2010). Pendekatan dalam PKn. [Online]. Tersedia: http://muhammadnuruddin071644036.blogspot.com/2010/01/pendekatan-dalam-pkn.html [20 Oktober 2010]
Trimo. (2007). Pendekatan Penanaman Nilai Dalam Pendidikan. [Online]. Tersedia: http://re-searchengines.com/0807trimo.html [20 Oktober 2010]
Mulyadi. (2004). Penyelesaian Masalah Kenakalan Remaja Secara Komprehensip. [Online]. Tersedia: http://mulyaihza.blogspot.com/2010/05/penyelesaian-masalah-kenakalan-remaja.html [21 Oktober 2010]
Djahiri, K. (2008). Esensi Pendidikan Nilai Moral dan Pkn di Era Globalisme. [Online]. Tersedia: http://re-searchengines.com/0807trimo.html [21Oktober 2010]

Mengajar Kecakapan Bekerjasama Kepada Siswa


Mengajar Kecakapan Bekerjasama Kepada Siswa

http://fitriahimamahligai.files.wordpress.com/2009/07/bekerja_dengan_siswa1.jpgMembantu anak-anak selama mereka belajar kecakapan bekerjasama, melatih kecakapan dan belajar untuk memberi dan menerima umpan balik adalah suatu komitmen yang membutuhkan waktu cukup lama. Banyaknya jam pelajaran selama setahun penuh dapat dihabiskan pada kecakapan yang sederhana dari memulai membentuk kelompok dan belajar bagaimana bekerja secara berkelompok. Kelas lainnya mungkin bergerak cepat ke arah pemecahan masalah yang cukup rumit sebagai sebuah kelompok. Cepatnya kemajuan biasanya tergantung pada banyaknya keterbukaan yang anak-anak miliki dalam kecakapan  bekerjasama dan bergantung pada umur dan perkembangan mereka. Suatu saat anak-anak terlihat lebih dapat bekerjasama daripada yang lainnya; terkadang setelah beberapa minggu terlihat tidak berada di dalam kelompok manapun juga mulai berjalan dengan bagusnya. Semuanya itu butuh sebanyak satu tahun untuk mengajar kecakapan tersebut dengan baik, dan menurut Johnson dan Johnson (1986), terkadang hingga mencapai dua tahun sebelum kecakapan bekerjasama menjadi sifat dasar yang kedua.
Sebagaimana kita dapat menunjukkan bagaimana membuat surat, mengeja sebuah kata atau membubuhkan tanda baca dalam sebuah kalimat, maka kecakapan bekerjasama juga dapat diajarkan secara cermat. Kita seringkali menganggap (dengan keliru) bahwa anak-anak tahu apa saja yang meliputi dalam kegiatan bekerjasama ketika kita menganjurkan mereka ‘Masuk ke dalam kelompok dan bangun sebuah menara dengan blok’ atau ‘Dalam sebuah kelompok kecil susun jalan terbaik untuk mengukur lapangan bermain.
Pengamatan pada anak-anak seringkali mengungkapkan satu atau dua anak cakap dalam mengerjakan tugas ketika yang lainnya menjadi ‘pengikut’, terkadang hanya melihat atau sebaliknya ber-ikut serta. ‘Pengikut’ akan beruntung karena belajar bagaimana berkontribusi dalam kelompok. Anak yang cakap, sama halnya dengan yang lain, butuh untuk mengembangkan keterampilan sosial yang memungkinkan mereka untuk masuk dan terlibat dengan lainnya.
Seperti yang telah kita sebutkan dalam Bab 2 kecakapan untuk bekerja secara kooperatip secara berpasangan atau berkelompok dapat diajarkan dengan cara membuat kecakapan bekerjasama tampak jelas, praktek kecakapan bekerjasama dan memberikan umpan balik. Tiga komponen ini dapat terjadi setiap hari. Beberapa guru menyisihkan 15 menit setiap hari untuk mempertunjukkan sebuah kecakapan khusus dan kemudian menyuruh anak-anak untuk mempraktekkannya. Guru lainnya telah menjual ide pengetahuan bekerjasama dan berencana menjualnya hingga 75 sen dalam setiap sehari bersekolah sebagai kegiatan berpasangan atau berkelompok dimana kecakapan bekerjasama diajarkan, dipraktekkan dan diawasi.

Berikut ini anjuran pada bagaimana kecakapan bekerjasama dapat menjadi nampak jelas, dipraktekkan dan umpan balik diberikan pada sebuah kelompok didasarkan pada karya penting Johnson, Johnson dan Holubec (1986).
MEMBINA KECAKAPAN NAMPAK JELAS
Dimulai dengan menanyakan pada anak-anak apa yang mereka lakukan ketika mereka bekerjasama. Daftar ide mereka pada sebuah tabel dan tambahkan ke dalamnya jika ada usulan yang datang lagi dan lagi. Untuk kecakapan ini dan kecakapan bekerjasama yang  lainnya nampak jelas, kita dapat menunjukkan contoh-contoh dari kecakapan bekerjasama dengan tindakan, gunakan permainan peranan, membaca atau menceritakan cerita dari kesusasteraan dan tambahkan tabel T. Strategi mengajar ini sekarang akan didiskusikan lebih detil.
MEMBERI CONTOH DENGAN TINDAKAN
Mempertunjukkan kecakapan bekerjasama dengan tindakan dalam dunia bisnis, komite sekolah dan perundingan politik di seluruh dunia dapat disusun. Anjuran berikut ini  menggambarkan tentang kecakapan bekerjasama untuk memulai kelompok, bekerja secara berkelompok, memecahkan masalah dan mengatur perbedaan.
  • Undang tamu pembicara yang mengandalkan kecakapan bekerjasama dalam melakukan pekerjaannya, misalnya ketua dewan sekolah, wartawan koran, pengemudi taksi, pelayan supermarket, dll.
  • Gunakan naskah sandiwara yang dibuat secara komersial atau, lebih baik lagi, menciptakan permainan anda sendiri tentang kerjasama keluarga.
  • Analisa tabel atau diagram yang menunjukkan hubungan antara anggota kelompok kerjasama.
Peranan perekam dalam kelompok dapat dijelaskan lebih dahulu dengan mendiskusikan sebuah gambar dari aksi komite masyarakat dengan sebuah alat perekam atau aksi wartawan parlementer/wartawan pengadilan. Kemudian penyajian sebuah daftar tugas perekam dapat diilhamkan pada sebuah tabel untuk diikuti oleh kelompok perekam yang akan datang. Kerumitan dari tiap-tiap peranan dan mempraktekkan kecakapan bekerjasama bergantung pada umur dan pengalaman anak.
PERMAINAN PERANAN
Memulai permainan peranan dapat terjadi secara spontan. Sebagai contoh, setelah anak-anak bekerja secara kelompok dan memperoleh pengalaman yang sukar dalam bekerjasama guru dapat meminta kelompok untuk mencoba lagi sebuah kegiatan khusus. Murid lainnya di kelas dapat melihat, duduk dalam sebuah lingkaran atau dalam bentuk mangkuk ikan, dan beri umpan balik pada keefektifan dari kecakapan bekerjasama. Kelompok kemudian dapat mencobanya lagi, mempertimbangkan kembali usulan dari kelas.
Sebagian besar guru mendapati bahwa permainan peranan adalah sebuah tehnik mengajar yang sangat bagus, terutama ketika mereka berpartisipasi secara sukarela. Menggunakan kecakapan memulai kelompok secara bergiliran, sebagai contohnya. Anak-anak di kelas 1 tidak akan berbagi giliran jadi guru duduk di lantai dengan sebuah kelompok dari dua pengambil giliran yang cakap ketika mereka berdiskusi tentang apa yang mereka lakukan selama liburan. Guru, dengan dua anak lainnya, berlatih mengambil giliran dalam sebuah pola mangkuk ikan emas (goldfish) dengan pemain peran di tengah dan sisanya dalam sebuah bentuk setengah lingkaran yang besar, memperhatikan. Sisa kelas ditumpukan pada kelompok permainan peranan yang kecil. Mereka suka melihat guru sebagai anggota kelompok dan melihat dan memecahkan bagaimana seseorang itu mengambil keputusan tentang mengambil giliran.

Menuliskan kecakapan ‘mengambil giliran’ pada papan tulis memberikan petunjuk pada anak-anak dalam kecakapan khusus yang sedang dipraktekkan. Sebuah daftar dari mengamati tingkah laku anak-anak dapat kemudian ditulis setelah itu. Kita menemukan bahwa membatasi kecakapan menjadi satu untuk setiap permainan peranan dapat memfokuskan perhatian anak pada kecakapan khusus adalah yang terbaik.
MENDISKUSIKAN CERITA
Teoritikus sastra Louise Rosenblatt dan pembaca teoritikus seperti Margaret Meek (1982) dan Frank Smith (1978) mengakui bahwa sastra menyediakan pengalaman yang mirip untuk anak-anak dan serupa orang dewasa.
Meskipun banyak buku-buku didasarkan pada tema orang yang cerdik dan keberanian memenangi kesengsaraan, buku-buku sekarang ini lebih dan lebih banyak lagi  berhubungan dengan bekerjasama. Karakter-karakter yang membantu sesama untuk mencapai keberhasilan dalam buku-buku seperti Space Demons dan Skymaze yang dikarang oleh Gillian Rubinstein, dimana anak-anak membaca yang kemudian kelompok dapat mencapai hasil lebih daripada secara perorangan.
Di dalam buku bergambar Swimmy oleh Leo Lionni seekor ikan kecil bergabung dengan ikan kecil lainnya untuk membuat bentuk ikan yang sangat besar untuk mengalahkan seekor hiu yang mengancam. Pertanyaan yang cermat dapat menolong menunjukkan kepada anak-anak arah karakter dalam buku-buku tentang kerjasama ini, membuat keputusan dan memecahkan konflik.
(Rudiardi - Ahmad Basori)








Pendekatan Pembelajaran Kooperatif

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEje71lE6-ip-zph7Lo6r27FfuiClGkJJRSk4AoBTGT9OVpKsf_Bc6k4OIzWtbtTN71z68xsVN0lQq4UhJfLKdPWiQqcW6gpxw1GjibWvbl6pfdNqvB2ufPDXKFwF7_U-LYFWNFZkSq_IMA/s1600/Jigsaw.jpgStudent Teams Achievement Division (STAD)
STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman temannya di Universitas John Hopkin, dan merupakan pendekatan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Guru yang menggunakan STAD, juga mengacu kepada belajar kelompok siswa, menyajikan informasi akademik baru kepada siswa setiap minggu menggunakan presentasi verbal atau teks. Siswa dalam suatu kelas tertentu dipecah menjadi kelompok dengan anggota 4-5 orang, setiap kelompok haruslah heterogen, terdiri dan laki dan perempuan, berasal dan berbagai suku, memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Anggota tim menggunakan lembar kegiatan atau perangkat pembelajaran yang lain untuk menuntaskan materi pelajarannya dan kemudian saling membantu satu sama lain untuk memahami bahan pelajaran melalui tutorial, kuis, satu sama lain dan atau melakukan diskusi. Secara individual setiap minggu atau setiap 2 minggu siswa diberi kuis. Kuis itu diskor, dan flap individu diberi skor perkembangan.
Skor perkembangan ini tidak berdasarkan pada skor mutlak siswa, tetapi berdasarkan pada seberapa jauh skor itu melampaui rata-rata skor siswa yang lalu.
Setiap minggu pada suatu lembar penilaian singkat atau dengan cara lain, diumumkan tim-tim dengan skor tertinggi, siswa yang mencapai skor perkembangan tinggi, atau siswa yang mencapai skor sempurna pada kuis-kuis itu. Kadang-kadang seluruh tim yang mencapai kriteria tertentu dicantumkan dalam lembar itu. Prosedur ini akan dijelaskan lebih rinci kemudian.
Jigsaw
Jigsaw telah dikembangkan dan diuji coba oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins. Dalam penerapan jigsaw, siswa dibagi berkelompok dengan 5 atau 6 anggota kelompok belajar heterogen. Materi pembelajaran diberikan kepada siswa dalam bentuk teks. Setiap anggota bertanggung jawab untuk mempelajari bagian tertentu bahan yang diberikan itu. Sebagai contoh, jika materi yang diajarkan itu adalah alat ekskresi, seorang siswa mempelajari tentang ginjal, siswa lain mempelajari tentang hati, siswa yang lain lagi belajar tentang paru-paru, dan yang terakhir belajar tentang kulit. Anggota dan kelompok lain yang mendapat tugas topik yang sama berkumpul dan berdiskusi tentang topik tersebut. Kelompok ini disebut kelompok ahli. Dengan demikian terdapat kelompok ahli kulit, ahli ginjal, ahli paru-paru, dan ahli hati.
Selanjutnya anggota tim ahli ini kembali ke kelompok asal dan mengajarkan apa yang telah dipelajarinya dan didiskusikan di dalam kelompok ahlinya untuk diajarkan kepada teman kelompoknya sendiri. Gambar 2 menunjukkan hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli. Menyusul pertemuan dan diskusi kelompok asal, siswa-siswa itu dikenai kuis secara individual tentang materi belajar. Dalam Jigsaw versi Slavin, skor tim menggunakan prosedur skoring yang sama dengan STAD. Tim dan individu dengan skor-tinggi mendapat pengakuan dalam lembar pengakuan mingguan atau dengan cara lain.
Investigasi Kelompok (IK)
Investigasi kelompok mungkin merupakan model pembelajaran kooperatif yang paling kompleks dan paling sulit untuk diterapkan. Model ini dikembangkan pertama kali oleh Thelan. Dalam perkembangan selanjutnya model ini diperluas dan dipertajam oleh Sharan dan kawan-kawan dan Universitas Tel Aviv. Berbeda dengan STAD dan Jigsaw, siswa terlibat dalam perencanaan baik topik yang dipelajari dan bagaimana jalannya penyelidikan mereka. Pendekatan ini memerlukan norma dan struktur kelas yang lebih rumit daripada pendekatan yang lebih berpusat pada guru. Pendekatan ini juga memerlukan mengajar siswa keterampilan komunikasi dan proses kelompok yang baik.
Dalam penerapan IK ini guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok dengan anggota 5 atau 6 siswa yang heterogen. Dalam beberapa kasus, bagaimanapun juga, kelompok dapat dibentuk dengan mempertimbangkan keakraban persahabatan atau minat yang sama dalam topik tertentu. Selanjutnya siswa memilih topik untuk diselidiki, melakukan penyelidikan yang mendalam atas topik yang dipilih itu. Selanjutnya menyiapkan dan mempresentasikan laporannya kepada seluruh kelas. Sharan dkk (1984) telah menetapkan enam tahap IK seperti berikut ini.
  1. Pemilihan topik. Siswa memilih subtopik khusus di dalam suatu daerah masalah umum yang biasanya ditetapkan oleh guru. Selanjutnya siswa diorganisasikan menjadi dua sampai enam anggota flap kelompok menjadi kelompokkelompok yang berorientasi tugas. Komposisi kelompok hendaknya heterogen secara akademis maupun etnis.
  2. Perencanaan kooperatif Siswa dan guru merencanakan prosedur pembelajaran, tugas, dan tujuan khusus yang konsisten dengan subtopik yang telah dipilih pada tahap pertama.
  3. Implementasi. Siswa menerapkan rencana yang telah mereka kembangkan di dalam tahap kedua. Kegiatan pembelajaran hendaknya melibatkan ragam aktivitas dan keterampilan yang luas dan hendaknya mengarahkan siswa kepada jenis-jenis sumber belajar yang berbeda baik di dalam atau di luar sekolah. Guru skara ketat mengikuti kemajuan hap kelompok dan menawarkan bantuan bila diperlukan.
  4. Analisis dan sintesis. Siswa menganalisis dan mengevaluasi informasi yang diperoleh pada tahap ketiga dan merencanakan bagaimana inform asi tersebut diringkas dan disajikan dengan cara yang menarik sebagai bahan untuk dipresentasikan kepada seluruh kelas.
  5. Presentasi hasil final. Beberapa atau semua kelompok menyajikan hasil penyelidikannya dengan cara yang menarik kepada seluruh kelas, dengan tujuan agar siswa yang lain saling terlibat satu sama lain dalam pekerjaan mereka dan memperoleh perspektif luas pada topik itu. Presentasi dikoordinasi oleh guru.
  6. Evaluasi. Dalam hal kelompok-kelompok menangani aspek yang berbeda dan topik yang sama, siswa dan guru mengevaluasi tiap kontribusi kelompok terhadap kerja kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi yang dilakukan dapat berupa penilaian individual atau kelompok.
Pendekatan Struktural
Pendekatan terakhir dalam pembelajaran kooperatif telah dikembangkan oleh Spencer Kagen dkk (Kagen, 1993). Meskipun memiliki banyak persamaan dengan pendekatan yang lain, namun pendekatan ini memberi penekanan pada penggunaan struktur tertentu yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Struktur yang dikembangkan oleh Kagen ini dimaksudkan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional, seperti resitasi, di mana guru mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas dan siswa memberikan jawaban setelah mengangkat tangan dan ditunjuk. Struktur yang dikembangkan oleh Kagen ini menghendaki siswa bekerja saling membantu dalam kelompok kecil dan lebih dicirikan oleh penghargaan kooperatif, daripada penghargaan individual.
Ada struktur yang dikembangkan untuk meningkatkan perolehan isi akademik, dan ada struktur yang dirancang untuk mengajarkan keterampilan sosial atau keterampilan kelompok. Dua macam struktur yang terkenal, adalah think-pair-share dan numbered-head-together, yang dapat digunakan oleh guru untuk mengajarkan isi akademik atau untuk mengecek pemahaman siswa terhadap isi tertentu. Sedangkan active listening dan time token, merupakan dua contoh struktur yang dikembangkan untuk mengajarkan keterampilan sosial. Berikut ini akan diuraikan terlebih dahulu think-pair-share.
  • Think-pair-share
Strategi think-pair-share tumbuh dari penelitian pembelajaran kooperatif dan waktu-tunggu. Pendekatan khusus yang diuraikan di sini mula-mula dikembangkan oleh Frank Lyman dkk dan Universitas Maryland pada tahun 1985. Ini merupakan cara yang efektif untuk mengubah pola diskursus di dalam kelas. Strategi ini menantang asumsi bahwa seluruh resitasi dan diskusi perlu dilakukan di dalam seting seluruh kelompok. Think-pair-share memiliki prosedur yang ditetapkan secara eksplisit untuk memberi siswa waktu lebih banyak untuk berfikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain. Andaikan guru baru saja menyelesaikan suatu penyajian singkat, atau siswa telah membaca suatu tugas, atau suatu situasi penuh teka-teki telah dikemukakan. Sekarang guru menginginkan siswa memikirkan secara lebih mendalam tentang apa yang telah dijelaskan atau dialami. Ia memilih untuk menggunakan strategi think-pair-share sebagai gantinya tanya jawab seluruh kelas. Ia menerapkan langkah langkah seperti berikut ini.
Tahap -1: Thinking (berfikir)
Guru mengajukan pertanyaan atau isu yang berhubungan dengan pelajaran, kemudian siswa diminta untuk memikirkan pertanyaan atau isu tersebut secara mandiri untuk beberapa saat.
Tahap-2: Pairing.
Guru meminta siswa berpasangan dengan siswa yang lain untuk mendiskusikan apa yang telah dipikirkannya pada tahap pertama. Interaksi pada tahap ini diharapkan dapat berbagi jawaban jika telah diajukan suatu pertanyaan atau berbagi ide jika suatu persoalan khusus telah diidentifikasi. Biasanya guru memberi wakth 4-5 menit untuk perpasangan.
Tahap-3:
pada tahap akhir, guru meminta kepada pasangan untuk berbagi dengan seluruh kelas tentang apa yang telah mereka bicarakan. ini efektif dilakukan dengan cara bergiliran pasangan demi pasangan dan dilanjutkan sampai sekitar seperempat pasangan telah mendapat kesempatan untuk melaporkan.
  • Numberel heads together
Numberel heads together adalah suatu pendekatan yang dikembangkan oleh Spencer Kagen (1993) untuk melibatkan lebih banyak siswa dãlam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut. Sebagai gantinya mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas, guru menggunakan struktur empat langkah seperti berikut ini.
Langkah-1: Penomoran.
Guru membagi siswa ke dalam kelompok beranggota 3-5 orang dan kepada setiap anggota kelompok diberi nomor antara 1 sampai 5.
Langkah-2: Mengajukan Pertanyaan
Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan dapat bervariasi. Pertanyaan dapat amat spesffik dan dalam bentuk kalimat tanya. Misalnya “ Berapakah jumlah propinsi di Indonesia?” Atau berbentuk arahan misalnya: “Pastikanlah tiap orang mengetahui 5 buah ibu kota propinsi yang terletak di Pulau Sumatera.”
Langkah-3: Berpikir Bersama
Siswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan itu dan meyakinkan flap anggota dalam timnya mengetahui jawaban itu.
Langkah-4: Menjawab
Guru memanggil suatu nomor tertentu, kemudian siswa yang nomornya sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba untuk menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas.
DAFTAR PUSTAKA1997 Classroom Instruction and Management – Chapter 3 Cooperative Learning, McGraw-Hill dalam Mohammad Nur 2005 Pembelajaran Kooperatif PSMS Unesa








https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgH7undQotHleu9vbxhgobHkKpsCG0VN4jrrB1lsmsjReccOCoTHPlWwdQ7e8NFwjIxkfjcKsyVO0jQ_3ABCqmyoi7L0NUHzXWr85ZcFjl9oBVnQ0wCRPfokvwfpQpcdZ1NRrZ0CqIQdl8/s1600/belajar.jpgDaya tarik, sebagai hasil pembelajaran, erat sekali kaitannya dengan daya tarik bidang studi. Namun demikian, daya tarik bidang studi, dalam penyampaiannya, akan banyak tergantung pada kualitas pembelajarannya.
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa pengukuran daya tarik pembelajaran dapat dilakukan dengan mengamati apakah siswa ingin terus belajar atau tidak. Jadi, kecenderungan siswa untuk tetap terus belajar bisa terjadi karena daya tarik bidang studi itu sendiri, atau  bisa
juga karena kualitas pembelajarannya, atau keduanya. Untuk mempreskripsikan daya tarik sebagai hasil pembelajaran, maka tekanan diletakkan pada kualitas pembelajaran, bukan pada daya tarik yang berasal dari bidang studi.
Daya Tarik Bidang Studi
Pada dasarnya, setiap bidang studi memiliki daya tarik tersendiri, meskipun daya tarik ini amat tergantung pada karakteristik siswa, seperti: bakat, kebutuhan, minat, serta kecenderungan-kecenderungan atau pilihan-pilihan per-seorangan lainnya. Suatu bidang studi memiliki daya tarik tinggi bisa karena sesuai dengan bakat siswa, atau dibutuhkan secara pribadi oleh siswa, atau karena sekedar minat.
Daya tarik inilah yang menyebabkan siswa ingin mempelajari bidang studi itu. Namun kecenderungan ini, bagaimanapun juga, dipengaruhi oleh bagaimana bidang studi itu diorganisasi dan disampaikan kepada siswa. Jadi, strategi pengorganisasian pembelajaran  dan penyampaian pembelajaran  memegang peranan yang amat peting untuk mempertahankan dan sekaligus menunjukkan daya tarik bidang studi. Meskipun demikian, strategi pengelolaan, yang berfungsi untuk menata penggunaan kedua strategi pembelajaran  itu, peranannya tak dapat diabaikan.
Kualitas Pembelajaran
Adalah tugas pembelajaran  untuk menunjukkan daya tarik suatu bidang studi kepada siswa. Pembelajaran dapat mengubah semuanya. Suatu bidang studi bisa kehilangan daya tariknya karena kualitas pembelajaran  yang rendah. Kualitas pembelajaran selalu terkait dengan penggunaan metode pembelajaran yang optimal untuk mencapai tujuan pembelajaran, di bawah kondisi pembelajaran  tertentu. Ini berarti,  bahwa   untuk   mencapai   kualitas   pembelajaran
yang tinggi, bidang studi harus diorganisasi dengan strategi pengorganisasian yang tepat, dan selanjutnya disampaikan kepada siswa dengan strategi penyampaian yang tepat pula.
Sebagai hasil pembelajaran, kecenderungan siswa untuk tetap belajar, adalah tanggungjawab pembelajaran, bukan tanggungjawab bidang studi. Pembelajaran lah yang harus mampu membuat bidang studi itu menarik, dan tidak sebaliknya. Bukan karena daya tarik bidang studi, kemudian pembelajaran  menjadi menarik. Agar dapat mempreskripsikan strategi pembelajaran  yang optimal, maka hubungan antara bidang studi dan pembelajaran, lebih tepat diungkapkan dengan hubungan sebab-akibat. Di sini, pembelajaran  sebagai sebab dan daya tarik bidang studi sebagai akibat.

Indikator Daya Tarik

Variabel penting yang dapat digunakan sebagai indikator daya tarik pembelajaran  adalah penghargaan dan keinginan lebih (lebih banyak atau lebih lama) yang diperlihatkan oleh siswa. Kedua indikator ini dapat dikaitkan, baik pada bidang studi, maupun pada pembelajaran.
Penghargaan dan keinginan untuk lebih banyak mempelajari isi bidang studi, merupakan hasil pembelajaran  yang bukan hanya disebabkan oleh daya tarik bidang studi, tetapi terutama disebabkan oleh kualitas pembelajaran  yang mampu memciptakan penghargaan dan keinginan itu. Oleh karena itu, maka titik awal pengukuran daya tarik, sebagai hasil pembelajaran, haruslah diletakkan pada variabel metode pembelajaran: strategi pengorganisasian, penyampaian, dan pengelolaan pembelajaran. Variabel inilah yang paling menentukan kualitas pembelajaran  secara keseluruhan. 













https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj5qgcWVtbczvBXC1Dsx3eg2NwyeMNJNwvvdv-bGkna4WCyGtV_zmg_bgWSrAPUSgwRBsmv0nnJUY0cKpg7-QsjtCwQ2xxlPsxTurPQ4JjJSsUMxJj3VEOeJJ1q_NeGnL9RPvNnduDoukE/s320/belajar4.gifTipe Isi Bidang Studi

Berbagai pemikiran mengenai taksonomi hasil pembelajaran  yang didasarkan pada tipe isi bidang studi telah berkembang dewasa ini. Bloom (1956) telah mengklasifikasi hasil pembelajaran  menjadi tiga, yaitu:
  1. Kognitif.
  2. Sikap.
  3. Psikomotorik
  • Kognitif: Ranah yang menaruh perhatian pada pengembangan kapabilitas dan ketrampilan intelektual.
  • Sikap: Ranah yang berkaitan pengembangan perasaan, sikap, nilai, dan emosi.
  • Psikomotorik: Ranah yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan manipulatif atau ketrampilan motorik.

Ranah Kognitif

Bloom mengklasifikasi lebih lanjut ranah kognitif menjadi enam, dan tiap-tiap klasifikasi dikembangkan lagi menjadi bagian-bagian klasifikasi yang lebih khusus. Semua klasifikasi diurut secara hirarkhis dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks. Keenam klasifikasi ranah kognitif Bloom adalah sebagai berikut:
  1. Pengetahuan
  2. Pemahaman
  3. Penerapan
  4. Analisis
  5. Sintesis
  6. Penilaian
  • Pengetahuan: Klasifikasi yang menekankan pada mengingat, apakah dengan mengungkapkan atau mengenal kembali sesuatu yang telah pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan. 
  • Pemahaman: Klasifikasi ini menekankan pada pengubahan informasi ke bentuk yang lebih mudah dipahami.
  • Penerapan: Menggunakan abstraksi pada situasi tertentu dan konkrit. Tekanannya adalah untuk memecahkan suatu masalah. 
  • Analisis: Memilah informasi ke dalam satuan-satuan bagian yang lebih rinci sehingga dapat dikenali fungsinya, kaitannya dengan bagian yang lebih besar, serta organisasi keseluruhan bagian.
  • Sintesis: Penyatuan bagian-bagian untuk membentuk suatu kesatuan yang baru dan unik.
  • Penilaian: Pertimbangan-pertimbangan tentang nilai dari sesuatu untuk tujuan tertentu.
Gagne (1977;1985) mengklasifikasi hasil pembelajar-an menjadi lima, dan dari lima klasifikasi ini tiga di antaranya termasuk ranah kognitif. Ketiga klasifikasi yang termasuk ranah kognitif adalah:
  1. Ketrampilan intelektual
  2. Informasi verbal
  3. Strategi kognitif
Ketrampilan intelektual dikembangkan lagi menjadi lima kategori yang diurut dengan menggunakan hubungan prasyarat belajar:
  1. Diskriminasi
  2. Konsep konkrit
  3. Konsep abstrak
  4. Kaidah
  5. Kaidah tingkat tinggi 
Merrill (1983) mengembangkan suatu model pembelajaran  yang disebut dengan component display theory (CDT). Dalam model ini, hasil pembelajaran  diklasifikasi ke dalam dua dimensi: tingkat unjuk-kerja dan tipe isi. Klasifikasi ini hanya diterapkan dalam belajar ranah kognitif. Dimensi tingkat unjuk-kerja dibagi menjadi tiga, yaitu:
  1. Mengingat
  2. Menggunakan
  3. Menemukan,
sedangkan tipe isi pembelajaran dibedakan menjadi empat, yaitu:
  1. Fakta
  2. Konsep
  3. Prosedur
  4. Prinsip

Ranah Kognitif

Bloom mengklasifikasi lebih lanjut ranah kognitif menjadi enam, dan tiap-tiap klasifikasi dikembangkan lagi menjadi bagian-bagian klasifikasi yang lebih khusus. Semua klasifikasi diurut secara hirarkhis dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks. Keenam klasifikasi ranah kognitif Bloom adalah sebagai berikut: (Klasifikasi lengkap dapat diperiksa dalam lampiran 1)
  1. Pengetahuan
  2. Pemahaman
  3. Penerapan
  4. Analisis
  5. Sintesis
  6. Penilaian
  • Pengetahuan: Klasifikasi yang menekankan pada mengingat, apakah dengan mengungkapkan atau mengenal kembali sesuatu yang telah pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan. 
  • Pemahaman: Klasifikasi ini menekankan pada pengubahan informasi ke bentuk yang lebih mudah dipahami.
  • Penerapan: Menggunakan abstraksi pada situasi tertentu dan konkrit. Tekanannya adalah untuk memecahkan suatu masalah. 
  • Analisis: Memilah informasi ke dalam satuan-satuan bagian yang lebih rinci sehingga dapat dikenali fungsinya, kaitannya dengan bagian yang lebih besar, serta organisasi keseluruhan bagian.
  • Sintesis: Penyatuan bagian-bagian untuk membentuk suatu kesatuan yang baru dan unik.
  • Penilaian: Pertimbangan-pertimbangan tentang nilai dari sesuatu untuk tujuan tertentu.
Gagne (1977;1985) mengklasifikasi hasil pembelajar-an menjadi lima, dan dari lima klasifikasi ini tiga di antaranya termasuk ranah kognitif. Ketiga klasifikasi yang termasuk ranah kognitif adalah:
  1. Ketrampilan intelektual
  2. Informasi verbal
  3. Strategi kognitif
Ketrampilan intelektual dikembangkan lagi menjadi lima kategori yang diurut dengan menggunakan hubungan prasyarat belajar:
  1. Diskriminasi
  2. Konsep konkrit
  3. Konsep abstrak
  4. Kaidah
  5. Kaidah tingkat tinggi 
Merrill (1983) mengembangkan suatu model pembelajaran  yang disebut dengan component display theory (CDT). Dalam model ini, hasil pembelajaran  diklasifikasi ke dalam dua dimensi: tingkat unjuk-kerja dan tipe isi. Klasifikasi ini hanya diterapkan dalam belajar ranah kognitif. Dimensi tingkat unjuk-kerja dibagi menjadi tiga, yaitu:
  1. Mengingat
  2. Menggunakan
  3. Menemukan,
sedangkan tipe isi pembelajaran dibedakan menjadi empat, yaitu:
  1. Fakta
  2. Konsep
  3. Prosedur
  4. Prinsip
Kombinasi dimensi unjuk-kerja dan tipe isi melahirkan matriks dua dimensi, seperti telah diuraikan dalam Bab 2.

Ranah Sikap

Ranah sikap dikembangkan oleh Krathwohl, Bloom, dan Masia (1964). Dikemukakan ada lima klasifikasi ranah sikap, dan tiap klasifikasi dibagi lebih lanjut menjadi bagian-bagian yang lebih khusus. Kelima klasifikasi utama mereka adalah: (Klasifikasi lebih rinci ditunjukkan dalam lampiran 2)
  1. Menerima
  2. Merespon
  3. Menghargai
  4. Mengorganisasi
  5. Bertindak konsisten
  • Menerima: Ranah ini berkaitan dengan keinginan siswa untuk terbuka (atau, peka) pada perangsang atau pesan-pesan yang berasal dari lingkungannya. Pada tingkat ini muncul keinginan menerima perangsang, atau, paling tidak, menyadari bahwa perangsang itu ada.
  • Merespon: Pada tingkat ini muncul keinginan untuk melakukan tindakan sebagai respon pada perangsang. Tindakan-tindakan ini dapat disertai dengan perasan puas dan nikmat.
  • Menghargai: Penyertaan rasa puas dan nikmat ketika melakukan respon pada perangsang, menyebabkan individu ingin secara konsisten menampilkan tindakan itu dalam situasi yang serupa. Pada tahap ini individu dikatakan menerima suatu nilai, dan mengembang-kannya, serta ingin terlibat lebih jauh ke nilai itu.
  • Mengorganisasi: Individu yang sudah secara konsisten dan berhasil menampilkan suatu nilai, pada suatu saat akan menghadapi situasi di mana lebih dari satu nilai yang bisa ditampilkan. Bila ini terjadi, maka individu akan mulai ingin menata nilai-nilai itu ke dalam suatu sistem nilai, menetukan keterkaitan antar nilai, dan menetapkan nilai mana yang paling dominan.
  • Bertindak konsisten sesuai dengan nilai yang dimilikinya. Ini adalah tingkat tertinggi dari ranah sikap. Di mana individu akan berperilaku secara konsisten berdasarkan nilai yang dijunjungnya.
Klasifikasi ranah afektif ini didasarkan pada asumsi bahwa perilaku tingkat yang lebih rendah merupakan prasyarat bagi perilaku tingkat yang lebih tinggi. Itulah sebabnya, ranah ini diurut dalam suatu garis kontinum dalam bentuk hirarkhis, dan pencapaiannya bersifat kumulatif. Mulai dari tahap pertama, yaitu menerima suatu nilai, keinginan untuk merespon, kepuasan yang didapat ketika merespon akan memunculkan penghargaan pada nilai itu, selanjutnya mengorganisasi nilai-nilai ke suatu sistem nilai yang sifatnya amat pribadi, dan akhirnya berperilaku secara konsisten berdasarkan nilai yang dimiliki dan dijunjungnya.

Ranah Psikomotorik

Simpson (1966) mengembangkan klasifikasi ranah psikomotorik menjadi lima. Mulai dari tingkat yang paling rendah, yaitu persepsi, sampai pada tingkat penguasaan ketrampilan yang terpola. Simpson masih mempertanya-kan satu tingkat lagi setelah tingkat kelima, yaitu penyesuaian dan keaslian. Tingkat ini belum dimasukkan secara sistematik dalam klasifikasinya.
Klasifikasi ranah psikomotorik adalah sebagai berikut:
  1. Persepsi
  2. Kesiapan
  3. Respon terbimbing
  4. Mekanisme
  5. Respon terpola
  6. Penyesuaian dan Keaslian

  • Persepsi: Proses munculnya kesadaran tentang adanya objek dan karakteristik-karakteristiknya melalui indra.
  • Kesiapan: Pada tigkat ini, siswa siap untuk melakukan suatu tindakan, baik secara mental, fisik, atau emosional.
  • Respon terbimbing: Siswa melakukan tindakan dengan mengikuti suatu model. Ini dapat dilakukan dengan meniru model dan coba-gagal sampai tindakan yang benar dikuasai.
  • Mekanisme: Pada tingkat ini siswa telah mencapai tingkat kepercayaan tertentu dalam menampilkan ketrampilan yang dipelajari.
  • Respon terpola: Pada tingkat ini, siswa telah mencapai tingkat ketrampilan yang tinggi. Ia dapat menampilkan suatu tindakan motorik yang menuntut pola tertentu, dengan tingkat kecermatan dan/atau keluwesan, serta efisiensi yang tinggi.
  • Penyesuaian dan Keaslian: Tingkat ini masih dipersoalkan oleh Simpson, perlu dimasukkan atau tidak. Pada tingkat ini, siswa telah begitu trampil sehingga ia dapat menyesuaikan tindakannya untuk situasi-situasi yang menuntut persyaratan tertentu.  Ia juga dapat mengembangkan pola tindakan baru untuk memecahkan masalah-masalah tertentu.