MAKALAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM






MAKALAH

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM
Dosen pem:
Dr.Zainuddin syarif.M.ag














Oleh:
MOHAMMAD BASID
NIM;2841





SEKOLAH TINGGI AGAMAISLAM(STAI) ALKHAIRAT PAMEKASAN 2011





DAFTAR ISI



HALAMJUDUL
KATA PENGANTAR
DARTAR ISI



BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang masalah

BAB II
PEMBAHASAN
1 ALIRAN MU’TAZILAH
A. Pengertian dan Sejarah Lahirnya Aliran Mu’tazilah
B. Tokoh-Tokoh Aliran Mu’tazila
C. Ajaran-ajaran Mu’tazilah
1. Al Tauhid
2. Al ‘Adl
3. Al Wa’d wa al Wa’id (Janji dan Ancaman)
4. Manzilah Baina Manzilatain (Posisi di antara dua tempat)
5. Amar Ma’ruf , Nahi Munkar.


BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA



















BAB I

PENDAHULUAN

Latar belakang masalah
Perbedaan pendapat dalam Islam[1] adalah suatu rahmat, yang membuktikan bahwa manusia memanfaatkan kelebihan yang diberikan oleh Allah (akal)[2]. Dalam sejarah perkembangan pemikiran dan peradaban Islam ditandai dengan lahirnya kelompok-kelompok dari kaum muslimin setelah wafatnya Nabi Muhammad saw.
Berawal dari masalah dalam bidang politik, kemudian berkembang kepada masalah akidah atau yang lebih kita kenal dengan theolog lahirlah dengan berbagai pendapat-pendapat yang berbeda-beda.
Dalam pembahasan Ilmu Kalam, kita dihadapkan pada barbagai macam gerakan pemikiran-pemikiran besar yang kesemuanya itu dapat dijadikan sebagai gambaran bahwa agama Islam telah hadir sebagai pelopor munculnya peradaban pemikiran yang hingga sekarang. Hal ini membuktikan  bahwa Islam tidak sesempit yang dipahami masyarakat pada umumnya, karena Islam dengan bersumberkan al-Quran dan As-Sunnah dapat berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat luas, dalam kata lain Islam bersifat universal, Islam tetap siap hadir kapan dan dimanapun perubahan perkembangan peradaban dan pemikiran.
Berangkat dari hal tersebut diatas, masalah utama yang akan dibahasa dalam makalah ini adalah : Bagai mana asal usul lahirnya aliran Mu’tazilah ? Siapa  tokoh-tokoh Mu’tazilah ? Bagimana ajaran-ajaran Mu’tazilah ? Serta corak pemikiran Mu’tazilah. Diharapkan dengan hadirnya makalah ini dapat memberi konstribusi perkembangan pemikiran dan peradaban umat Islam secara umum, agar khazanah yang berharga dalam dunia Islam tidak menjadi agenda yang dikebumikan.






















BAB II

PEMBAHASAN
      
1 ALIRAN MU’TAZILAH
A. Pengertian dan Sejarah Lahirnya Aliran Mu’tazilah
Secara etimologi, Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab اعتزل)) berarti : menjauhkan, mengenyampingkan atau memisahkan.[3] Secara Termonologi Mu’tazilah berarti: Aliran atau paham yang memisahkan diri.  Sedang penamaan Mu’tazilah yang menggambarkan asal usulnya terdapat perbedaan pendapat diantaranya:
  1. Al Syahrastani menjelaskan bahwa nama Mu’tazilah didasarkan pada peristiwa Washil bin ‘ Atho dengan teman-temannya ‘Amr bin Ubaid. Keduanya dikenal sebagai pengikut pengajian Hasan Basri yang setia, tetapi pada suatu hari datang salah seorang menanyakan tentang kedudukan pelaku dosa besar. Hasan Basri baru berpikir, tiba-tiba Washil bin ‘Atho mengemukakan pandangannya bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak kafir dan tidak pula mukmin, melainkan berada di antara keduanya. Setelah itu ia meninggalkan pengajian, maka Hasan Basri mengatakan bahwa Washil bin ‘Atho menjauhkan diri dari kita (I’tazala) dan pengikutnya dinamakan Mu’tazilah.[4]
  2. Al Baghdadi menambahkan bahwa bukan masalah dosa besar saja Washil bin Atho  berbeda pendapat dengan gurunya, tetapi juga masalah qadar, sehingga memisahkan diri dan membentuk pengajian sendiri.[5]
  3. Al Mas’udi mengemukakan pendapat yang sama bahwa mereka disebut kaum Mu’tazilah karena pendapatnya yang mengatakan bahwa orang yang berdosa besar berada pada posisi di antara mukmin dan kafir (al-manzilat baina manzilatain).[6]
  4. Jarallah memperkuat dengan mengemukakan bahwa pendapat Mu’tazilah tentang pelaku dosa besar bukan kafir mutlak dan bukan pula mukmin mutlak, melainkan fasik.[7]
  5. Ahmad Amin mengemukakan:
a. Dikatakan Mu’tazilah didasarkan pada peristiwa Washil bin ‘Atho dengan gurunya.
b. Disebut Mu’tazilah karena mempunyai pandangan yang berbeda dengan orang-orang terdahulu mengenai kedudukan pelaku dosa besar
c.  Nama Mu’tazilah diberikan kepadanya karena pendapatnya yang keluar dari apa yang dianut oleh sebagian besar kaum muslimin tentang pelaku dosa besar.
d.  Nama Mu’tazilah sebenarnya sudah dikenal beberapa tahun sebelum peristiwa Washil bin ‘Atho dengan gurunya Hasan Basri. Nama tersebut diberikan kepada golongan yang tidak mau terlibat pada pertikaian antara kelompok Usman bin Affan dengan kelompok Ali bin Abi Thalib.
Tampaknya Ahmad Amin membagi dua kelompok aliran Mu’tazilah, kelompok pertama bercorak teologi, yakni terlibat dalam pembahasan mengenai pokok-pokok ajaran agama berdasarkan pemikiran, sementara kelompok kedua bercorak politik. Meskipun demikian, baik kelompok pertama maupun kelompok kedua berarti memisahkan diri karena tidak termasuk dalam kelompok yang ada pada masanya.[8]
Pandangan Ahmad Amin tentang kelompok  Mu’tazilah kedua ada kemiripan dengan pandangan Orientalis, yaitu Nallino, seperti yang dikutip oleh Harun Nasution bahwa Mu’tazilah tidak mengandung pengertian memisahkan diri dari umat Islam lainnya, tetapi merupakan golongan yang mempunyai pandangan yang bersifat netral antara pandangan Khawarij dan Murji’ah. Di samping itu, antara kelompok Mu’tazilah pertama dengan kedua merupakan satu rangkaian.[9]
Berbeda dengan pandangan Goldziher yang dikutip oleh Fazlur Rahman bahwa Mu’tazilah tidak suka terlibat dalam pertentangan apapun, sehingga nama Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab berarti absen dari, menjadi netralis, berada di sisi, menunjukkan kepada sifat mereka yang salah dan tidak suka ikut campur dalam pertentangan pendapat.[10]
B. Tokoh-Tokoh Aliran Mu’tazila
Ditinjau dari segi geografis, aliran Mu’tazilah dibagi menjadi dua, yaitu aliran Mu’tazilah Basrah dan aliran Mu’tazilah Baghdad. Aliran Mu’tazilah Basrah lebih awal munculnya yang lebih di kenal dengan Mu’tazilah pertama.
Perbedaan antara kedua aliran Mu’tazilah tersebut pada umumnya disebabkan karena situasi geografis dan kultural. Kota Basrah lebih dahulu didirikan daripada kota Baghdad, dan lebih dahulu mengenal keanekaragaman budaya dan agama. Tidak kalah pentingnya, meskipun Baghdad kota terbelakang didirikan, namun menjadi ibukota khilafat Abbasiyah.
Menurut Ahmad Amin sebagaimana yang ditulis oleh A. Hanafi bahwa pengaruh filsafat Yunani pada aliran Mu’tazilah Baghdad lebih nampak, karena adanya kegiatan penerjemahan buku-buku filsafat di Baghdad, dan juga karena istana khalifah-khfalifah Abbasiyah di Baghdad menjadi tempat pertemuan ulama-ulama Islam dengan ahli-ahli pikir golongan lain. Aliran Basrah lebih banyak menekankan segi-segi teori dan keilmuan, sedang aliran Baghdad sebaliknya, lebih menekankan segi pelaksanaan ajaran Mu’tazilah dan banyak terpengaruh oleh kekuasaan khalifah-khalifah. Aliran Mu’tazilah Baghdad banyak mengambil persoalan-persoalan yang telah dibahas aliran Mu’tazilah Basrah, kemudian diperluas pembahasannya.[11]
Tokoh-tokoh aliran Basrah: al Washil bin ‘Atho, al ‘Allaf, An Nazzham dan Jubba’i. Tohoh-tokoh aliran Baghdad antara lain : Bisyr bin al Mu’tamir, al Khayyat. Kemudian pada masa-masa berikutnya lagi ialah Qadhi Abdul Jabar dan az Zamakhsyari. Uraian berikut ini didasarkan atas urut-urutan geografis dan kronologis.[12]
1.      Washil bin ‘Atha (699-748 M)
Nama lengkapnya Washil bin ‘ Atha al Ghazzal, ia terkenal sebagai pendiri aliran Mu’tazilah yang pertama dan peletak lima besar ajaran Mu’tazilah
2.      Abu Huzail al ‘Allaf (226 H/841 M)
Abu Huzzail al ‘Allaf adalah pendiri yang sebenarnya bagi aliran Mu’tazilah. Ia mengembangkan pandangan-pandangan Mu’tazilah dan meramunya dengan informasi-informasi baru. Atas prakarsanya, tidak sedikit lahir tokoh besar Mu’tazilah. Ia dilahirkan di Basrah dan lama berdomisili di kota ini. Al ‘Allaf pernah diundang ke Baghdad untuk beberapa waktu, ia diberi umur panjang, hidup sekitar 100 tahun lamanya. Hidup sezaman dengan gerakan penerjemahan Islam yang terbesar. Berhubungan dengan kebudayaan asing. Kelebihan al ‘Allaf ialah karena punya pengetahuan luas, pemikiran mendalam, lisan fasih, argumentasi yang kuat, dan Pendebat aliran dualisme dan rafidah. Seringkali dalam perdebatan al ‘Allaf berhasil membungkam lawannya. Ia begitu terampil dalam diskusi-diskusinya hingga mampu mematahkan (argumentasi) lawan, bahkan berhasil menarik kaum penentang untuk memeluk Islam. Al ‘Allaf menulis dan mengarang banyak buku, sayangnya buku-buku itu tidak diselamatkan dan musnah dimakan zaman, yang dalam masalah ini ia sampai pada sejumlah pandangan yang keras dan aneh, sehingga menjadi topik kritik pro dan kontra. Al ‘Allaf merupakan orang pertama dari kalangan kaum muslimim yang serius terjun menggeluti problematika ketuhanan, yang dibalut dengan label filosofis.[13]
3.      Al Nazzam (231 H/ 845 M)
Al Nazzam adalah filosof pertama dari kalangan Mu’tazilah yang paling mendalam pikirannya. Paling berani, paling banyak berfikir merdeka di samping orisinil pendapatnya di antara mereka. Al Nazzam adalah anak saudara perempuan al ‘Allaf dan muridnya sekaligus. Belajar kepadanya kemudian memberontak dan berfikir merdeka. Al Nazzam sejalan dengan al ‘Allaf dalam hal keluasan cakrawala, kefasihan lisan dan kekuatan berargumentasi. Ia dilahirkan dan dibesarkan di Basrah, kemudian mengembara di pusat-pusat peradaban Islam kemudian ia berdomisili di Baghdad. Ia tidak diberi umur panjang seperti gurunya al ‘Allaf . Di antara pendapat yang kuat mengatakan bahwa ia meninggal pada usia 60-70 tahun. Berkat kecerdasannya ia mampu menguasai dan mengkritik teori-teori yang berkembang di sekitarnya, dan membawa kesimpulan baru.[14]
4.      Abu Hasyim al Jubba’i (321 H/ 932 M)
Al Jubba’i adalah tokoh besar terakhir dari kalangan Mu’tazilah. Ia dilahirkan dan dibesarkan di Basrah. Ia belajar kepada ayahnya, kemudian memisahkan diri darinya, berbeda pendapat dengannya lalu mendirikan kelompok khusus. Ia hidup sezaman dengan al Farabi dan sebagian kaum paripatetik Arab dan terpengaruh mereka . Teorinya tentang al Ahwal (kondisi-konsisi), merupakan saksi terbaik yang membuktikan anggapan itu. Al Jubba’i berusaha untuk menolak sebagian teori kosmologi yang dikemukan oleh Aristoteles.[15]
5.      Bisyr bin Al Mu’tamir (226 H/ 840 M)
Ia adalah pendiri aliran Mu’tazilah di Baghdad. Pandangan-pandangannya mengenai kesusasteraan, sebagaimana yang banyak dikutip oleh al Jahiz dalam bukunya “al Bayan wa al Tabyin”, menimbulkan dugaan bahwa dia adalah orang yang pertama-tama mengadakan ilmu Balaghah.[16]
Beberapa pendapatnya tentang paham Mu’tazilah hanya sedikit saja yang sampai kepada kita. Ia adalah orang-orang yang pertama mengemukakan soal tawallud (reproduction) yang  boleh dimaksudkan untuk mencari batas-batas pertanggung jawab manusia atas perbuatannya. Di antara murid-muridnya yang besar pengaruhnya dalam penyebaran  paham-paham ke-Mu’tazilahan di Baghdad ialah Abu Musa al Mudar, Tsumamah bin al Asyras dan Ahmad bin Fuad.
6.      Al Khayyat (303 H/ 925 M)
Ia adalah Abu Husein al Khayyat, termasuk tokoh Mu’tazilah Baghdad dan pengarang buku ‘al Intisar’ yang dimaksudkan untuk membela aliran Mu’tazilah  dari serangan Ibnu al Rawandi. Ia hidup pada masa kemunduran aliran Mu’tazilah.
7.      Al Qadhi Abdul Jabbar (1024 M di Ray)
Ia juga hidup pada masa kemunduran aliran Mu’tazilah. Ia diangkat menjadi kepala hakim (qadhi al qudhat) oleh Ibnu ‘Abad.[17]
8.      Az Zamakhsyari (467-538 H/ 1075-1144 M)
Namanya Jaar Allah Abul Qasim Muhammad bin Umar, kelahiran Zamakhsyar, sebuah dusun di negeri Khawarazm (sebelah selatan lautan Qazwen), Iran. Sebutan Jaarullah yang  berarti tetangga Tuhan, nama ini dipakainya karena ia lama tinggal di Mekah dan bertempat  di sebuah rumah dekat Ka’bah. Selama hidupnya ia banyak melakukan perlawatan dari negeri kelahirannya menuju Baghdad, kemudian ke Mekkah untuk bertempat di sana beberapa tahun dan akhirnya ke Jurjan (Persi-Iran) dan di sana ia menghembuskan nafasnya yang penghabisan.[18]
Pada diri al Zamakhsyari sekumpulan karya aliran Mu’tazilah selama kurang lebih empat abad. Ia menjadi tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu (grammatika) dan paramasastera (lexicology) seperti yang dapat kita lihat dalam tafsirnya ‘al Kassyaf’ dan kitab-kitab lainnya, seperti “al Fa-iq, Assaul Balaghahdan al Mufassal”.
Ia dengan terang-terangan menonjolkan paham ke-Mu’tazilahannya dengan dituliskan dalam buku-bukunya, serta dikemukakannya dalam pertemuan-pertemuan keilmuan. Dalam tafsirnya ‘al Kassyaf’, ia telah berusaha sekuatnya untuk menafsirkan ayat-ayat al Quran berdasarkan ajaran-ajaran Mu’tazilah, terutama lima prinsip, yaitu Tauhid, Keadilan, Janji dan Ancaman, Tempat di antara dua tempat dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
C. Ajaran-ajaran Mu’tazilah
    1. 1. Al Tauhid
Tuhan dalam paham Mu’tazilah betul-betul Esa dan tidak ada sesuatu yang serupa denganNya. Ia menolak paham anthromorpisme (paham yang menggambarkan Tuhan serupa dengan makhluk) dan juga menolak paham beatic vision (Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala) untuk menjaga kemurnian Kemahaesaan Tuhan, Mu’tazilah menolak sifat-sifat Tuhan yang mempunyai wujud sendiri di luar Zat Tuhan.[19] Hal ini tidak berarti Tuhan tak diberi sifat, tetapi sifat-sifat itu tak terpisah dari ZatNya. Mu’tazilah membagi sifat Tuhan kepada dua golongan :
a.       Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan, disebut sifat dzatiyah, seperti al Wujud – al Qadim – al Hayy dan lain sebagainya
b.      Sifat-sifat yang merupakan perbuatan Tuhan, disebut juga dengan sifat fi’liyah yang mengandung arti hubungan antara Tuhan dengan makhlukNya, seperti al Iradah – Kalam – al Adl, dan lain-lain.[20]
Kedua sifat tersebut tak terpisah atau berada di luar Zat Tuhan, Tuhan Berkehendak, Maha Kuasa dan sifat-sifat lainnya semuanya bersama dengan Zat. Jadi antara Zat dan sifat tidak terpisah. Pandangan tersebut mengandung unsur teori yang dikemukakan oleh Aristoteles bahwa : penggerak pertama adalah akal, sekaligus subyek yang berpikir.

2. Al ‘Adl
Paham keadilan dimaksud untuk mensucikan Tuhan dari perbuatanNya. Hanya Tuhan lah yang berbuat adil, karena Tuhan tidak akan berbuat zalim, bahkan semua perbuatan Tuhan adalah baik.[21] Untuk mengekspresikan kebaikan Tuhan, Mu’tazilah mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan mendatangkan yang baik dan terbaik bagi manusia. Dari sini lah muncul paham al Shalah wa al Aslah yakni paham Lutf atau rahmat Tuhan. Tuhan wajib mencurahkan lutf bagi manusia, misalnya mengirim Nabi dan Rasul untuk membawa petunjuk bagi manusia.
3. Al Wa’d wa al Wa’id (Janji dan Ancaman)
Ajaran ini merupakan kelanjutan dari keadilan Tuhan, Tuhan tidak disebut adil jika ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat buruk.[22] karena itulah yang dijanjikan oleh Tuhan. QS. Al Zalzalah ayat 7-8.
Terjemahnya :“Barang siapa yang berbuat kebajikan seberat biji zarrah, niscaya dia akan lihat balasannya, dan barang siapa yang berbuat keburukan seberat biji zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya pula.”
4. Manzilah Baina Manzilatain (Posisi di antara dua tempat)
Posisi menengah dalam ajaran Mu’tazilah di tempati oleh orang-orang Islam yang berbuat dosa besar. Pembuat dosa besar bukan kafir karena masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad saw, tetapi tidak juga dapat dikatakan mukmin karena imannya tidak lagi sempurna, maka inilah sebenarnya keadilan (menempatkan sesuatu pada tempatnya).[23] Posisi bagi orang yang melakukan dosa besar dalam paham ini sakan diletakkan diantara dua posisi bukan dineraka dan bukan di surga. Bisa diartikan terawang-awang.
            5. Amar Ma’ruf , Nahi Munkar.
Perintah berbuat baik dan mencegah kemungkaran adalah suatu kebajikan bagi semua umat Islam. Seruan amar ma’ruf nahi munkar bisa dilakukan dengan hati, tetapi jika memungkinkan dapat dilakukan dengan seruan bahkan dengan tangan dan pedang (kekerasan). Hal ini sejalan dengan hadis Nabi yang artinya :
“Barang siapa yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangan, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu maka dengan hati, itulah serendah-rendahnya iman”.


BAB III


KESIMPULAN


Aliran Mu’tazilah, sebagai mana pada bagian pembahasan,  melihatkan corak pemikiannya yang rasional.[24] Karena akal kuat, manusia menurut paham mu’tazilah mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam kemauan serta kehendak dan mampu berpikir mendalam, dalam artikata kebebasan yang absolut manusia adalah makhluk yang menciptakan perbuatannya sendiri sehingga dibebankan untuk melaksanakan kewajiban atau taklif.
Oleh karena Mu’tazilah menganut paham Qodariyyah, di Barat disebut free will and free act.[25] Sedangkan keyakinan dalam paham Mu’tazilah membawa kepada adanya hukum alam (sunnatullah) ciptaan Tuhan, yang mengatur perjalanan yang ada di alam ini, dalam arti menurut hukum yang sudah ditetapkan. Mu’tazilah tidak hanya menghandalkan kekuatan akal sebagai dasar pemikirannya namun Al-Qur’an dan sunnah Nabi tidak ditinggalkan.
  1. Saran-saran
Akhir kata dalam makalah ini penulis menyarankan :
  1. Kepada kawan-kawan pasca sarjana (S2) kekurangan dan ketidak sempurnaan makalah ini merupakan suatu hal yang perlu diperbaiki bersama, karena kesempurnaan mutlak hanya ada pada Khaliq.
  2. Kepada dosen, penulis mengharapkan sarannya atas ketidak sempurnanya makalah ini.





































DAFTAR PUSTAKA






Abi al Husayn Ahmad bin Faris Ibn Zakariyah, Maqayis Al Lughah, Beirut; Daar al Fikr, T.th
Ahmad Amin, Fajr al Islam, Singgapura; Sulaiman Mara’I, 1965
Abd al Qadir bin Tahir al Baghdady, al Farq Baina al Firaq, Beirut; Daar al Qamariyah, T.th
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta; Universitas Indonesia, 1985
Ibrahim Madkhour, Fii al Falsafah al Islamiyah Manhaj wa Tathbiquh, Terjemahan Yudi Wahyudi Asmian, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Jakarta; Bumi Aksara, 1995
Sirajuddin Zar, Konsep Penciptaan alam dalam Pemikiran Islam, Sains dan Al-Qur’an, Jakarta; PT Raja Grapindo Persada, 1994